Baru saja membaca berita di salah satu halaman Surat kabar tentang Sindikat Narkoba yang memburu anak-anak ABG (Anak Baru Gede) untuk dijadikan budak seks atau kurir narkoba mereka. Sangat tragis dan memilukan sekali. Remaja yang sedang dalam proses pencarian jatidiri ini, dimanfaatkan oleh orang-orang jahat dengan iming-iming untuk mendapatkan kesenangan sesaat baik berupa uang ataupun barang. Sangat menyedihkan.
Berita ini merupakan salah satu bentuk perhatian kami terhadap anak-anak yang mengalami tindakan penganiayaan ataupun pelecehan dari orang-orang yang seharusnya bisa mengayomi mereka. Ketakutan kami tertuang dalam ungkapan Salter, Richardson, and Kairys yang mengatakan “Anak-anak yang dianiaya/dilecehkan belajar satu hal yaitu dunia mereka adalah tempat yang tidak terduga, dan menyakitkan. Orang yang peduli terhadap mereka mungkin marah, tidak sabar, tertekan, dan berjarak. Mereka dapat berubah sikap menjadi orang yang bermusuhan, keras, tanpa dapat diduga”. Kalau ekspetasi mereka terhadap orang yang seharusnya bisa mengayomi mereka sudah rusak, maka akan menjadi pekerjaan rumah yang panjang untuk mengembalikan rasa percaya mereka kepada orang-orang dewasa baik itu orangtua mereka sendiri atau guru dan profesi lainnya.
Adapun dampak psikologis yang bisa dialami oleh mereka (anak-anak) yang dilecehkan adalah:
1. Dampak dalam kehidupan Intrapersonal
Faktor penting dalam perkembangan anak adalah relasinya dengan orang tua; yang dalam masyarakat kita berupa kelekatan ibu dengan anak. Jadi ada konsekuensi dalam perkembangan intrapersonal seorang anak apabila orangtuanya menganiaya atau melecehkan mereka.
Kebutuhan dan tujuan anak adalah membangun dan memelihara hubungan dengan pengasuhnya, yaitu orangtuanya. Melalui relasi yang dibangun ini, anak mendapatkan kebutuhannya (kehangatan, nutrisi, perlindungan) dan mulai membangun pola tingkah laku yang terduga, yang mempengaruhi perkembangan pada aspek lainnya. Dalam kasus penganiayaan/pelecehan, kelekatan bayi dengan orangtuanya merusak keyakinan internal anak akan dunianya. Konsekuensinya, anak membangun persepsi bahwa dirinya tidak kompeten, merasa diri buruk, tidak berharga untuk dikasihi. Bahkan bisa berkembang menjadi mengharapkan bahwa dirinya dilukai, tidak mempercayai kedekatan dan curiga terhadap orang lain.Anak yang lebih besar menunjukkan masalah afeksi (depresi, sedih dan cemas).
Adapun seorang peneliti yaitu Lynch, melaporkan anak yang maltreated kelihatan tidak bahagia dan sedikit menikmati kesenangan dari lingkungannya. Reaksi ini dapat berhubungan dengan adanya pengalihan dalam kemampuan anak untuk mengenali perasaan dirinya dan orang lain maupun perilaku sosial. Beberapa penelitian menemukan anak-anak yang teraniaya mempunyai keterbatasan dalam kemampuan mereka untuk mempersepsi maksud, perilaku baik diri mereka sendiri maupun orang lain, mereka sulit menginterpretasi ekspresi emosi orang lain, karena mereka mengembangkan pola penyangkalan terhadap respon emosi tertentu, terutama perasaan-perasaan yang menimbulkan konflik, yang kadang meluas kepada perasaan lainnya. Meski ketumpulan emosi ini bisa berguna untuk mengatasi perasaan sakit karena dianiaya, kondisi ini menghambat serangkaian respon emosional lainnya, melumpuhkan bagian penting dari perkembangan anak.
Anak yang mengalami penganiayaan fisik memberikan respon yang tidak menyenangkan dan mulai beradaptasi dengan lingkungannya. Crittenden menemukan bayi yang teraniaya sulit berinteraksi dengan ibunya, misalnya dengan menangis lebih sering dan lebih mudah terusik, dibandingkan bayi lainnya dan pola tingkah laku ini berhubungan dengan langsung dengan tingkah laku interpersonalnya daripada dengan temperamennya. Crittenden lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam tahun pertama kehidupan anak yang teraniaya, mereka belajar mengakomodasikan diri dengan tingkah laku ibunya tanpa mengeluh. Dengan membangun pola perilaku yang mengubah kemarahan menjadi sikap kooperatif yang superficial, kebanyakan anak menjadi pasif, penakut, terfokus pada bahaya, dan mengeluh. Jadi, di satu saat anak menunjukkan penolakan dan kemarahan, pada waktu lain menunjukkan sikap kooperatif yang dangkal. Cara ini dijadikan alat untuk menjalin relasi dan kelekatan dengan orang lain.
Untuk anak yang lebih besar, mereka menunjukkan karakteristik yaitu kecondongan untuk merawat orangtua yang menganiaya mereka (mungkin reaksi formasi), melayani kebutuhan orang tua mereka, termasuk melayani kebutuhan adiknya dan bertindak sebagai penolong bagi orang tua mereka. Cara yang bertolak belakang ini dijadikan alat untuk mendapatkan arti dan apresiasi sekaligus memelihara kedekatan dan kelekatan dengan figur. Sedangkan dalam relasi dengan teman sebaya mereka menunjukkan sikap permusuhan, agresi, menarik diri secara ekstrim dari teman-teman.Galdston menjelaskan anak yang teraniaya membutuhkan pengakuan, dan perhatian dari orang dewasa. Green menjelaskan hal ini sebagai cara anak mengidentifikasi dirinya dengan orangtua yang menganiayanya, sebagai cara untuk menghindari kecemasan dan perasaan putus asa. Entah sebagai sikap agresif atau menarik diri, anak yang dianiaya secara fisik menunjukkan masalah yang signifikan dalam hubungan dengan teman sebaya.
2. Dampak terhadap kondisi fisik
Dalam studi intensif selama 5 tahun, Martin melaporkan hampir separuh dari 58 anak yang dianiaya secara fisik menunjukkan kerusakan neurologis. Sepertiganya mengalami kecacatan yang berhubungan dengan fungsi sesehari. Seperti fungsi neurologis, sensorik dan psikomotor juga mengalami kerusakan. Ada keterlambatan perkembangan motorik, Martin mengekspos adanya kelemahan dalam motorik kasar. Meski sulit untuk menentukan sumbernya dengan pasti.
3. Dampak Terhadap Masalah Seksual
Pada anak-anak sulit diidentifikasi. Setelah dewasa, mereka menunjukkan kesulitan untuk mempercayai orang lain dalam relasi seksual yang intim. Karena beberapa anak yang dianiaya secara fisik juga dilecehkan secara seksual.
4. Dampak Terhadap Perilaku
Salter, Richardson, dan Kairys mengatakan reaksi anak-anak ini terhadap tekanan bisa berupa pertama, internalisasi atau overcontrolled (terhambat, malu, cemas). Atau kedua, eksternalisasi atau undercontrolled (actingout, agresif).
Yang mau ditekankan disini adalah dorongan bagi semua orangtua untuk membantu memerangi berbagai bentuk penganiayaan/pelecehan terhadap anak. Mungkin kita tahu itu terjadi di sekolah, lingkungan rumah, tempat kursus, tempat bermain/hiburan ataupun tempat-tempat lainnya. Bila kita tahu bahwa akan ada dampak yang cukup panjang dan butuh proses lama untuk menyembuhkannya, kita bisa mulai dari diri sendiri untuk memelihara kehidupan anak-anak kita. Jangan sampai sebagai orangtua kita menjadi pelaku penganiayaan atau hanya sebagai saksi mata yang berpangku tangan melihat anak-anak menjadi korban penganiayaan.
Semoga bermanfaat
Sumber:
A. Salter, C.M. Richardson, and S.W. Kairys, "Caring for Abused Preschoolers," Child Welfare 64(1985):343356.
M.D.S. Ainsworth, "Attachment and Child Abuse," in G. Gerber, C.J. Ross, and E. Zigler, eds., Child Abuse Reconsidered: An Agenda for Action (New York: Oxford University Press, 1980).
M.A. Lynch and J. Roberts, Consequences of Child Abuse (New York: Academic Press, 1978).
P.M. Crittenden, "Abusing, Neglecting, Problematic, and Adequate Dyads: Differentiating By Patterns of Interactions," Merrill-Palmer Quarterly 27(1981):118.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H