Mohon tunggu...
Rumah Peradaban
Rumah Peradaban Mohon Tunggu... -

-Na-, dua huruf terakhir dari nama depan saya. Blog ini merupakan kumpulan catatan harian seorang ibu baru. Memutuskan untuk menjadi full timer wife ketika perguruan tinggi meluluskan banyak fresh graduate. Intinya, Saya masih belajar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memasak Itu bukan Bakat, tapi Sebuah Kodrat

6 Desember 2010   04:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:59 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa saya berani mengatakan hal yang demikian? Hehe, karena saya sedang mengalami dan membuktikannya. Sungguh lucu jika ada seorang perempuan yang mengatakan, "Sorry, saya tidak bisa memasak". :D Saya cukup memahami jika ada yang berpikir seperti itu, karena dulu pun saya terkena sindrom pesimis, "Sorry, saya tidak bisa memasak." Ketika saya beranjak remaja hingga berstatus mahasiswi, saya tidak hobi memasak. Walaupun tidak bisa dikatakan malas jika harus membantu ibu didapur. Tapi kalau diserahkan tugas meracik bumbu-bumbu dan memotong daging atau ikan, saya memilih kabur saja. :D ( contoh yang tidak layak ditiru ya adik-adik) :D. Memasak termasuk aktivitas saya yang bisa terhitung dengan jari alias cuma seminggu sekali. Itupun dalam rangka mengisi waktu libur saya ketika tidak berkutat dengan buku pelajaran. Dan ujung-ujungnya, yang saya masak adalah sambal yang sangat super duper hot alias pedas sekali. Gini-gini, sambal buatan saya menjadi pujian satu keluarga ( :D Haha memuji diri sendiri). Atau mereka sengaja menggombali saya supaya ibu tidak harus repot-repot mengulek sambal yang harus mengeluarkan tenaga dalam. :D

Untungnya, ibu saya tidak termasuk ke dalam paham ibu-ibu yang berpikiran bahwa 'anak gadis harus pintar masak'. Mungkin karena ibu saya bukan seorang Jawa kali ya,, (walaupun akhirnya mendapatkan suami dan mertua seorang Jawa yang lebih menghargai istri yang bisa memasak). Ibu cukup membebaskan saya dalam hal ini."Natural saja, mungkin nanti kalau sudah waktunya." Begitu pikir ibu saya. Yang penting saya tidak terganggu belajarnya. Alhasil, saya cuma turun kedapur untuk mencuci piring, merebus mie instan, dan ... mengulek sambal.

Bahkan, ketika umur saya beranjak dua puluh, dan ketika itu sedang ramai-ramainya teman-teman satu kost saya menunjukkan kemampuan mereka untuk memasak, saya tetap tidak bergeming. Tidak ada yang menggantikan posisi saya sebagai komentator dan pemerhati kuliner. Seingat saya, itu adalah momen-momen kompetisi 'secara halus' untuk memamerkan siapa yang sudah siap dan layak mendapatkan predikat menjadi istri?(yang anehnya lagi, justru saya yang keduluan menikah di umur 20 tahun mendahului teman-teman saya itu)..

Mungkin ini akibat dari ketidapedulian saya mengurusi tetek bengek masak-memasak, akhirnya harus pontang-panting belajar sesuatu yang asing menurut saya,memasak. Kesadaran saya untuk belajar memasak pun tumbuh ketika membaca buku Islam tentang istri yang sholeh, disayangi suami dan diridhoi Alloh. :D Sebulan sebelum menikah, saya mendapat training khusus dari ibu saya. Pagi-pagi sudah harus kepasar, belajar memilih daging yang baik,mana yang glonggongan mana yang tidak, mengetahui harga cabe, memilih ikan, dan di masa-masa inilah, saya akhirnya bisa membedakan antara merica dan ketumbar tanpa tertukar, hal yang sangat sulit saya lakukan sebelumnya...Haha...sebuah prestasi bukan? :D

Intinya yang ingin saya katakan, santai saja sist. Ketika ada seorang ikhwan yang ingin meminang anda, jangan katakan , "Sorry, saya tidak bisa memasak," tapi ," Sorry, saya tidak belum bisa memasak,". Ya, kata 'belum' lebih tepat digunakan, karena pada dasarnya, Seorang perempuan itu bisa memasak, karena kemampuan untuk memasak itu adalah kodrat yang alamiah ada pada diri perempuan. Asalkan kuncinya 3B,

Berlatih,,

Berlatih..dan

Berlatih...

Sesulit apapun anda, sekalipun anda belum pernah bersentuhan dengan wajan dan sendok penggorengan, Jauh di lubuk nurani, Anda pasti bisa memasak, dan kemampuan itu tersembunyi dan hanya tinggal dieksplor saja. Oia, judul diatas tidak berlaku bagi chef atau koki pria(itu mah bakat yah :D )

Tips : Rajin-rajinlah membeli buku atau majalah resep masakan. Ingat, Ilmu dalam Islam itu bukan untuk dibaca dan dilihat saja, tapi untuk dipraktekkan dan di tularkan. Jadi, jangan hanya ngiler melihat resep-resep masakan yang ada di buku atau majalah, tapi praktekkanlah. Dan jangan lupa senjata pamungkasnya, berdoa dulu sebelum mempelajari resep, "Robbi zidni ilman warzuqni fahman". Amin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun