Keping- keping jalan kehidupan itu...
INI cerita tentang bagaimana bagaimana kita sebagai manusia harus belajar ikhlas. Berusaha tapi lalu memasrahkan hasilnya pada Sang Kuasa.
Mudah diucapkan, sama sekali tak mudah untuk dijalankan.
Ikhlas seharusnya terbebas dari rasa kesal, marah, sakit hati, sebab tahu bahwa itu semua suratan. Apalagi jika hasil akhirnya sebetulnya baik.
Dan aku, dengan segala kekuranganku, walau berusaha memahami, dan bersyukur atas jalan yang diberikanNya, atas kasih dan karunia yang tak putus mengalir dari Sang Maha Cinta, bahkan hingga kini masih juga menyimpan bara kemarahan, yang entah kapan akan padam sehingga aku tak lagi kesal pada seorang Kepala Sekolah SD dimana anak bungsuku suatu saat terdaftar sebagai muridnya..
Kepala Sekolah ini tak kukenal. Kedua kakak si bungsu tak pernah diajar olehnya. Dia juga baru beberapa bulan menjadi Kepala Sekolah. Kali pertama kutemui dia, saat si bungsu dinyatakan tidak bisa masuk kelas akselerasi.
Aku marah dan kecewa, bukan semata karena anakku tidak bisa masuk akselerasi seperti kedua kakaknya. Tapi, terlebih karena tak pernah bermimpi akan menemukan seseorang seperti itu di institusi pendidikan.
Itu sungguh mencederai cerita tentang para peri dan bidadari. Tentang kebaikan dan keluhuran budi yang selalu didongengkan sebelum tidur pada para kanak- kanak.
Kuurut ke depan, ke belakang. Kupahami akhirnya, mengapa begitu banyak kejanggalan terjadi selama seleksi. Aroma kecurangan itu sangat kuat. Gemerincing pundi uang jelas terdengar.
Mereka bersikeras bahwa keputusan yang kami pertanyakan keabsahannya itu final. Mengabaikan second opinion, hasil test ulang dari psikolog lain untuk menjawab keheranan kami atas hasil test janggal dan cara pembagian hasil test yang juga tidak umum yang kami terima dari sekolah.
Pernah melihat hasil test psikologi, hasil test IQ, diberi label "tidak lulus" ?