Jamaah haji berjalan menuju dan pulang dari tempat melempar jumroh. Dok: rumahkayu
Suatu pagi di Mina...
AKU berdiri di tepi jalan. Tergugu, dengan air mata bercucuran.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Lailaha illallahu wallahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilham, perlahan aku melantunkan suara takbir di mulutku, sementara mataku terus mengamati situasi di sekitar, dengan pandangan yang kadang- kadang kabur tertutup air mata
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar. Dan segala pujian hanyalah kepada Allah...
Sungguh, kata- kata tak akan cukup untuk menggambarkan bagaimana suasana yang tertangkap indraku pagi itu menyergap seluruh kesadaranku, menyentuh hatiku, dan pada akhirnya membuat air mata mengalir deras.
Ah, bukan hanya saat itu, tapi sekarang saat aku membayangkan kembalipun, air mata itu masih juga mengalir.
Ya Allah... Ya Allah... pikirku. Lihatlah mereka, lihatlah begitu banyak orang sepagi ini yang sudah berjalan sejauh itu, untuk melempar jumroh. Lihatlah orang berbagai bangsa, berbagai usia, dengan berbagai kondisi berjalan menuju satu arah, melengkapi ritual ibadah haji yang sedang dilakukan.
Dan hatiku meleleh...
Aku merasa begitu kecil... kecil... kecil...
Lalu perasaan malu menyeruak.