Kekerasan dalam rumah tangga ( KDRT) terjadi di semua daerah di Indonesia. Dari Aceh hingga Papua.
BEGITU yang disampaikan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Prof. Dr. Yohana Susana Yembise ketika menyampaikan sambutannya di sebuah acara peringatan Hari Perempuan Sedunia yang diadakan hari ini. Hari Perempuan Sedunia sendiri, tepatnya jatuh pada tanggal 8 Maret yang lalu.
[caption id="attachment_373518" align="aligncenter" width="451" caption="Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Memberikan Sambutan. Dok. Pribadi"][/caption]
Ibu Yohana lalu mengambil contoh Papua, tanah kelahirannya, dalam kaitannya dengan KDRT ini. Sebab menurut ibu Yohana, Papua merupakan tempat selain DKI Jakarta, dimana KDRT yang terbanyak di Indonesia terjadi.
Di Papua, ada tiga akar masalah KDRT, kata ibu menteri, yakni, pertama: we live in the manpower society -- ada budaya patriarki yang sangat kuat. Kedua, minuman keras. Dan terakhir, adanya banyak perdagangan perempuan dimana para perempuan ini lalu mengganggu ketentraman banyak rumah tangga di Papua.
Pernyataan Ibu Yohana ini diamini oleh ibu Regina Maubuay dari Koalisi Perempuan Papua Bangkit, khususnya terkait dengan adat istiadat yang kemudian membuat perempuan seakan kehilangan hak-nya dalam rumah tangga.
Salah satu contoh yang diambilnya adalah tentang mas kawin.
Mas kawin dalam adat Papua jumlahnya sangat mahal. Saat ini, dalam bentuk uang, bisa setara 50 sampai 100 juta rupiah.
Yang menjadi masalah utama, bukan semata angka yang sangat besar itu tapi dampaknya.
Karena mas kawin yang sangat mahal itu, maka dalam budaya yang ada, para suami kemudian menganggap mereka boleh memperlakukan istri dengan sekehendaknya. Jika istri tak setuju akan tindakan suami, mereka akan mengatakan bahwa tak ada lagi hak istri untuk bersuara untuk menentang sebab sang suami sudah 'membeli' istrinya dengan mas kawin yang sangat mahal itu.
Wow !