KENDATI sudah memasuki jaman digital, masih banyak pihak yang merasa perlu untuk membuat dan menerbitkan buku yang dicetak. Melimpahnya informasi baik di dunia maya maupun nyata mempermudah seseorang membuat buku.
Tentu, buku yang dicetak itu harus dibuat atau ditulis sendiri. Informasi yang didapat harus disebutkan sumbernya. Dan jika ada pihak yang terlibat, seharusnya juga disebutkan.
Seorang kawan, sebut saja namanya M, pernah menceritakan pengalaman pahitnya saat menjadi kontributor untuk penulisan sebuah buku.
Penulis buku itu dulu bersahabat dengannya dan M membantu mewawancarai beberapa orang yang kisah hidupnya sesuai dengan topik buku yang akan ditulis. Diantaranya adalah para perawat gajah di suatu pusat konvervasi. Wawancara dan penulisan hasil wawancara sepenuhnya dilakukan oleh M yang memang mengenal para perawat gajah tersebut. Orang yang namanya tertulis sebagai penulis buku tersebut tak mengenal orang- orang yang diwawancara M dan tidak pula pernah berkomunikasi langsung dengan mereka.
Belakangan, persahabatan M dengan sang penulis buku retak.
Buku itu terbit dan beredar di toko buku setelah retaknya persahabatan tersebut. Yang terjadi sungguh tak elok, sebab M lalu mendapati bahwa hasil wawancara yang dilakukan dan ditulisnya tetap dimuat di dalam buku, namun namanya sama sekali tak disebut- sebut sebagai kontributor penulisan, bahkan dikesankan disana bahwa sang penulis buku bertemu sendiri dengan para perawat gajah itu. Orang yang namanya ditulis sebagai penulis buku mengakui hasil kerja dan tulisan M sebagai tulisannya sendiri.
Kontribusi M dinihilkan.
M meradang. Menurutnya, itu sangat tidak etis. Dia tak mengharapkan ucapan terimakasih, katanya, tapi demi etika intelektual, atau apapun namanya, selayaknyalah tentu nama M disebutkan dalam buku tersebut, bukan?
***
[caption id="attachment_260379" align="aligncenter" width="441" caption="Gambar: paperbacksbooks.com "][/caption]
Kebetulan aku sendiri punya pengalaman yang serupa tapi tak sama dengan M.