Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menulis Cerita Silat di Blog? Kenapa Tidak?

10 Mei 2012   14:39 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:28 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_187488" align="aligncenter" width="514" caption="Ilustrasi Kho Ping Hoo (wikipedia.org)"][/caption]

BLOG merupakan sarana untuk menuliskan apa saja. Mulai dari curhat, opini hingga kisah fiksi, termasuk tentu saja cerita silat. Genre yang disebut terakhir memang relatif jarang dilirik. Setidaknya saya jarang menjumpai ada kisah, baik cerpen maupun novel di Kompasiana yang mengambil pendekatan cerita silat.

Padahal, ada suatu masa ketika cerita silat (cersil) menjadi primadona di Indonesia. Cersil bahkan menjadi semacam gaya hidup. Konon, dua mantan presiden yakni Soeharto maupun Abdurrahman Wahid adalah penggemar cersil.

Kepopuleran cersil yang mencapai puncaknya pada periode ‘80-an akhirnya meredup, bahkan hilang. Redupnya cersil, menurut hemat saya karena tak adanya regenerasi, pasca-wafatnya sang Master cersil Indonesia Kho Ping Ho (KPH). Selain KPH, hanya sedikit nama yang bisa membuktikan diri di blantika tulis-menulis sebagai pengarang cersil. Yakni (alm) Bastian Tito yang menciptakan serial Wiro Sableng, Arswendo Atmowiloto dengan Senopati Pamungkas (sekarang tampil dalam bentuk pancalogi) dan Seno Gumira Ajidarma dengan Nagabumi.

Selain minimnya penulis, tidak diliriknya cersil karena ada anggapan bahwa cersil merupakan bacaan kelas dua. Bacaan yang sama sekali tidak bermutu. Cersil juga (mungkin) bukan merupakan ceruk pasar yang menjanjikan. (Teori ini mungkin hanya berlaku untuk karya KPH dan Bastian Tito, dan tidak untuk karya Arswendo dan Seno Gumira Ajidarma. Bahkan Nagabumi tergolong cersil yang sangat bernuansa sastra).

***

1336660452686485725
1336660452686485725

Munculnya blog sebenarnya merupakan peluang yang bagus sekali bagi penggemar cersil untuk coba-coba menulis cersil. Dan ternyata, menulis cersil itu asyik. Setidaknya itu yang saya rasakan ketika bersama seorang teman menggarap Darah di Wilwatikta di Padepokan Rumahkayu. Cersil yang mulai kami publikasi secara teratur di Kompasiana ini merupakan proyek eksperimen. Pertama, karena itu dibuat oleh dua orang yang sama sekali berbeda. Saya, adalah penggila cersil sejati. Rasa-rasanya saya sudah membaca semua cersil karangan KPH, jadi saya tahu siapa Pendekar Super Sakti, Pendekar Sadis dan Pendekar Mata Keranjang. Saya sudah membaca kisah-kisah paling bagus karya Chin Yung (Jin Yong) dan mengenal siapa Bocah Tua Nakal, Kwee Ceng dan Yo Ko. Saya juga sudah melahap karya terbaik Khu Lung (Gu Long) sehingga cukup akrab dengan Pendekar Empat Alis dan Pendekar Harum. Sementara partner saya di padepokan, Dee aka Daunilalang, justru sama sekali bukan penggemar cersil bahkan belum pernah membaca satu pun cersil. (Setelah menulis di Padepokan Rumahkayu Dee pernah membeli Nagabumi namun akhirnya menyerah dan gak dibaca sampai tamat. Mungkin Dee memang sebaiknya memulai dari awal, yakni karya KPH, hehehe).

Eksperimen kedua menyangkut kisah. Kami hanya membicarakan garis besarnya. Detil kisahnya diserahkan kepada daya khayal masing-masing. Sehingga terkadang kami bingung sendiri ketika melihat jalan ceritanya menjadi seperti itu. Namun kami menikmati cara seperti itu. Karena ada kejutan yang menyenangkan.

Sekalipun fiksi, artinya kami bisa menulis apa saja sesuai daya khayal masing-masing, namun sejumlah fakta yang ada dalam kisah Darah di Wilwatikta diupayakan sesuai aslinya. Terutama menyangkut adat-istiadat dan kebiasaan. Jadi ketika membicarakan pasar di Trowulan, misalnya, yang kami paparkan adalah situasi pasar yang sebenarnya, menurut apa yang kami baca di sejumlah sumber. Tentu, berdasarkan pertimbangan tertentu, ada beberapa penyesuaian. Misalnya menyangkut busana perempuan. Mengacu kepada arca perempuan yang dibuat di jaman Majapahit, kami menyimpulkan bahwa perempuan di jaman itu tidak mengenakan pakaian untuk menutupi bagian atas tubuh. Namun dalam kisah ini mayoritas pendekar perempuan digambarkan mengenakan baju atas, atau minimal kemben. Jika diceritakan tokoh perempuannya bertelanjang dada, pasti pikiran pembaca laki-laki akan melayang gak tentu arah, hehehe.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun