Tentang hati.. YANG membedakan hasil. Berulang kali di blog ini, atau dalam komentar- komentarku, aku mengatakan bahwa penting untuk menulis dengan hati. Dalam posting lain, Fary juga pernah mengatakan 'tulislah dengan hati, editlah dengan otak' . Kalimat yang dituliskan Fary itu sebenarnya juga berlaku dalam hampir semua, atau bahkan semua, hal dalam hidup. Karena menurut pendapatku, hidup memang hanya akan dapat berjalan dengan seimbang saat kita dapat menyeimbangkan pikiran dan rasa, otak dan hati. Jiwa dan raga. Ada banyak pekerjaan di dunia yang membutuhkan kekuatan otak kiri, memang. Dalam dunia kerja mudah sekali contohnya ditemukan. [caption id="attachment_161475" align="aligncenter" width="250" caption="Gambar: www.coolfunnyshirts.com"][/caption]
***
Suatu hari dulu, aku pernah berada di dalam satu ruangan dengan hampir dua puluh orang dari negara yang berbeda, yang jenis pekerjaannya juga berbeda. Kesamaan semua orang dalam ruangan itu adalah bahwa saat itu kesemuanya baru saja dipromosikan menjadi manager, dan kesemuanya memegang selembar kertas hasil evaluasi diri yang menunjukkan bahwa otak kiri semua orang di situ sangat-sangat-sangat dominan. Amat sedikit yang menunjukkan bahwa dalam kesehariannya orang-orang tersebut menggunakan otak kanan. Believe it or not, tapi bahkan ada yang score penggunaan otak kanannya sehari- hari hampir mendekati nol. Bukan hanya dalam pekerjaan, tetapi latar belakang pendidikan dan kegiatan waktu luang yang berupa hobbypun semua dari jenis yang menggunakan otak kiri. Kenyataan yang bagiku saat itu sama sekali tak menampakkan keanehan atau masalah. Sebab mereka semua adalah para 'top talent'. Orang- orang yang berada di jalur cepat karir mereka, 'top of the pop', 'creme de la creme' . Orang-orang terpilih yang telah melalui banyak saringan untuk bisa duduk di ruangan tersebut.
***
Kini, sekian tahun kemudian, jika aku diminta untuk mengatakan, seperti apa manager yang hebat menurut pendapatku, maka aku akan mengatakan bahwa para manager yang semata menggunakan otak kirinya tak akan dapat menjadi manager yang baik. Manager yang baik adalah manager yang menggunakan otak kiri, otak kanan, pikiran, hati, logika maupun intuisinya. Sebab manager me-manage manusia. Bukan mesin. Karena itulah hati harus turut bicara... Posting ini, aku buat sebagai penghargaan bagi salah seorang mantan atasanku. Yang bukan hanya cerdas tapi juga menggunakan hatinya saat me-manage anak buahnya. Tak perlu contoh yang canggih dan spektakuler, tapi bahwa dia memahami dan mengerti karakter setiap anak buahnya dan memberikan ruang bagi anak buahnya untuk melakukan segala sesuatu dengan cara dan gayanya sendiri, sudah menunjukkan itu. Sebab manusia biasanya dapat melakukan sesuatu dengan optimal jika dia nyaman melakukan hal tersebut, dan kenyamanan bagi tiap orang bisa saja kriterianya berbeda. Sebab managerku yang ini bahkan tahu, penghargaan informal apa yang dapat membuat anak buahnya bergembira dan senang hati. Aku tak pernah dapat melupakan saat dimana pada suatu hari aku dan managerku ini berpapasan di depan mesin fotocopy di kantor kami. Dia menyapaku dan sapaan itu kujawab dengan tawa lebar, tanpa kata- kata. Aku tertawa padanya lalu menuju mesin fotocopy untuk membuat satu copy dokumen yang kupegang. Begitu saja. Managerku memperhatikan aku dan lalu bertanya, " D, is everything OK ? " Aku menoleh padanya, mengangguk sambil tertawa- tawa. Dia mengerutkan kening lalu berkata, " What's up? " Aku menggeleng dan tertawa makin lebar. Managerku yang sudah selesai membuat copy dokumennya berdiri di sisiku, bertanya dengan serius, apakah ada masalah yang terjadi di dalam pekerjaan atau teamku. Aku, kembali hanya menyambutnya dengan tawa. Dia belum beranjak, bertanya kepadaku, apakah aku bisa mengatasi masalah yang sedang terjadi, apapun itu. Aku tertawa lagi dan mengangguk. Lalu dia berkata padaku, " OK. You know where my desk is. Just drop by at anytime if tou need my help." Aku mengangguk lagi. Managerku berlalu dan setengah bergurau setengah serius mengatakan sesuatu dalam bahasa Inggris yang artinya kira- kira adalah, " Tahu nggak, tiap kali melihat kamu tertawa- tawa semacam ini saya khawatir... " Lalu dilanjutkannya kalimatnya, " Because I know, the bigger your smile, the bigger the problem is. " Hahaha. Aku terbahak lagi. Sungguh, aku berterimakasih pada managerku ini. Apa yang ditunjukkannya sungguh suatu bukti bahwa dia mengenali dan mempercayai aku sepenuhnya. Dia tahu bahwa aku terbiasa mandiri dalam menyelesaikan pekerjaanku, bahwa aku bukan orang yang setiap langkah akan 'minta petunjuk'. Bahwa jikapun ada masalah, aku akan berusaha menyelesaikan sendiri dan hanya akan datang padanya jika masalah yang ada memang diluar kemampuan atau otorisasiku untuk menyelesaikannya. Dia bahkan tahu bahwa jika aku hanya menjawab pertanyaan dengan tawa yang ( terlalu ) banyak, maka itu berarti bahwa otakku sedang mencari solusi. Dan lebih baik aku tidak diinterupsi maupun dicampuri dalam proses itu. Dia juga tahu bahwa walau membuatnya khawatir, tapi jika ada masalah dan aku masih bisa tertawa- tawa semacam itu maka artinya masalah itu, betapapun rumitnya, masih dapat kukendalikan dan bahwa dia mungkin akan mendengar ceritanya kelak jika hal tersebut sudah kuselesaikan, atau bahkan tidak sama sekali sebab aku sudah menganggapnya selesai dan sudah melangkah maju mengerjakan hal lain. Sikap seperti yang ditunjukkannya walau tampak sederhana sebetulnya sama sekali tidak sederhana. Ada banyak kebijaksanaan, pengertian dan kepercayaan di dalamnya. Managerku ini juga yang pada suatu hari saat aku mengerjakan suatu pekerjaan ekstra, sebelum akhirnya memberiku award secara formal, memberikan sesuatu yang informal. Bukan hadiah yang sangat mahal. Bentuknya bukan pula mentraktirku makan siang atau malam di tempat mahal dan eksklusif, misalnya. Yang dia lakukan adalah... memberiku sebuah novel terbitan Inggris yang saat itu belum beredar di Indonesia. Novel yang baru saja memenangkan penghargaan di tingkat internasional. Dia menaruh namaku, menuliskan sebaris pesan dan membubuhkan tanda tangannya di halaman pertama novel tersebut, lalu memberikannya padaku yang terlonjak senang menerimanya. Dan inilah yang kusebut manager yang lengkap. Managerku yang sangat cerdas ini ( dia memiliki double degree di dua bidang yang berbeda ) bukan hanya memiliki kecerdasan otak tapi juga ketulusan dan kebeningan hati. Dia sudah pulang ke negaranya sekarang, tapi aku dan dia secara berkala menghubungi satu sama lain sekedar 'say hi' dan saling menanyakan kabar. Sebab seperti biasa, pada akhirnya yang terpenting bukan semata hubungan antara manager dan anak buah, bukan hanya hubungan pekerjaan, tapi hubungan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Pada dirinya, kutemukan diri seorang manager, seorang mentor, seorang kawan. Ah, semoga di belahan bumi sebelah sana dia selalu dilimpahi kebaikan dan kesejahteraan dalam hidupnya... p.s: written for my ex manager, my mentor, my long time friend: KMR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H