Tentang godaan ketika... SELAMA beberapa tahun aku dan Dee menggawangi blog duet, beberapa kali Dee menulis rangkaian kisah yang menggugah, terkadang juga kocak, tentang pengalaman perjalanan yang dimuatnya di blog kami ( kami memulai blog duet itu di tempat lain, dan baru kemudian beberapa bulan terakhir menulis untuk Kompasiana ) . Tentu, pengalamannya itu ditulis dari sudut pandang seorang perempuan yang juga istri. Jika yang bepergian itu laki-laki, tulisan tentang perjalanan bisa jadi ditulis dengan sudut pandangan berbeda. Karena ada satu hal yang kerap menjadi godaan para lelaki (atau suami) ketika bertugas ke luar kota. Yakni seks. [caption id="attachment_163697" align="aligncenter" width="399" caption="Buaya. Ilustrasi: www.123rf.com"][/caption] Mungkin banyak yang tak mengira, kalau godaan bagi seorang laki-laki (terutama yang sudah menikah), itu sangat besar jika ditugaskan ke daerah lain. Semua syarat yang dibutuhkan untuk berselingkuh (atau menjalin hubungan terlarang sesaat) terbuka lebar: Jauh dari pengawasan istri (karena istri berada nun jauh di sana, dipisahkan jarak ratusan kilometer), dan privacy. Perempuan yang di-booking bisa dibawa ke hotel tempat menginap. Dan tahukah Anda apa pertanyaan yang biasa diajukan laki-laki kepada sopir taksi begitu turun dari pesawat? Setelah pertanyaan basa-basi, pertanyaan inti yang biasa diajukan adalah: Di mana tempatnya cewek yang bisa ehm-ehm, berapa tarif untuk short time atau long night, bagaimana cara mendapatkan ‘ayam kampus’, dsb dst. Bahkan jika itu kunjungan yang kesekian, biasanya pertanyaan yang diajukan masih yang itu-itu juga. Mungkin untuk meng-update informasi, kalau ada perkembangan baru. Pada beberapa kesempatan, aku juga biasa ikut teman-teman ke pub atau cafe, minum ditemani ladies. Atau ikut hunting ke lokasi ‘akuarium’, di mana cewek-cewek seksi dipajang dan tinggal tunjuk mana yang sesuai selera. Kadang aku juga pura-pura bertransaksi dengan GM. Di sejumlah kota, tarif biasanya berkisar pada 200 hingga 400 ribu untuk short time, dan kadangkala ada yang 500 ribu hingga 750 ribu untuk semalam suntuk (dalam konteks ini, tarifnya dalam rupiah. Jika di luar negeri tentu disesuaikan dengan nilai mata uang masing-masing, hehehe). Aku akan berdusta jika mengatakan tak tertarik. Aku tidak munafik. Keinginan untuk bergelut dengan perempuan lain pasti ada. Yang menjadi masalah (jika itu pantas disebut masalah), aku biasanya membandingkan perempuan itu dengan istri. Istriku cantik. Dia lembut dan cantik. Tubuhnya pun indah. Jika aku melihat perempuan di pajangan, otomatis alam bawah sadarku berkata: Masih cantikan yang di rumah nih… Beberapa teman berkali-kali menganjurkan agar aku melupakan standarisasi itu. Mereka bilang, “Biar jelek, yang penting kan barang baru”. Dan aku biasanya sambil bergurau berkata,” Kalau jelek ngapain? Gratis pun belum tentu aku mau, apalagi jika harus membayar…” Tapi tentu saja ada banyak perempuan secantik istri, bahkan mungkin lebih cantik. Namun celakanya, seorang teman pernah berkata, di dunia seperti itu, makin cantik seseorang berarti pelanggannya makin banyak dan dia makin sering dipake. Membayangkan kalau aku menjadi lelaki kesekian yang bergelut dengannya di malam itu sungguh membuat aku kehilangan selera. Memang pernah juga aku bertemu dengan cewek yang benar-benar sesuai. Dia cantik, putih dan bening. Dia mahasiswi (paling tidak dia memiliki kartu mahasiswa). Namun transaksi batal karena dia meminta 1,5 juta. Mungkin bagi laki-laki hidung belang lain angka 1,5 juta itu tak ada artinya. Namun aku laki-laki yang cukup rasional. 1,5 juta untuk beberapa jam kenikmatan semu itu mahal. Kalau 1,5 juta itu dibelikan celana jeans bisa dapat berapa potong? Mending uang sebanyak itu dibelikan oleh-oleh untuk orang rumah bukan? Tapi bukan berarti semua laki-laki (atau suami) yang berdinas ke luar kota/negeri lalu macam-macam. Banyak juga yang tidak. Banyak suami yang bisa mempertahankan kesetiaan. Ada yang bisa melakukannya dengan mudah, ada yang memerlukan perjuangan luar biasa untuk bisa bertahan. Pada akhirnya, seperti kata Bang Napi (tau Bang Napi kan?), godaan menjalin cinta sesaat itu tergantung pada dua hal. Yakni kemauan dan kesempatan. Karena berdinas di luar kota kesempatan untuk 'gituan' terbuka lebar, maka faktor kunci tinggal pada kemauan. Apakah mau menuruti dorongan sesaat atau memegang teguh kesetiaan...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H