[caption id="attachment_356715" align="aligncenter" width="450" caption="Demo rusuh (konfrontasi.com)"][/caption]
MALAM yang basah.
Penghuni Rumah Kayu sedang bersantai di rumah. Pradipta sedang belajar. Si kembar Nareswara dan Nareswari sedang bermain balok.
Kuti sedang asyik menulis di laptop. Dee, yang baru saja mandi, memilih untuk menonton televisi.
"Eh 'yang, ternyata demo BBM ada yang meninggal ya?" tanya Dee tiba-tiba.
Kuti menghentikan aktivitasnya dan menatap istrinya. Tumben istrinya kini menjadi 'pemerhati demo'.
"Iya kabarnya memang ada yang meninggal," balas Kuti.
"Eh, menurut kamu sendiri demo BBM itu gimana? Wajar?" Kembali Dee bertanya. Sejak harga BBM dinaikkan mereka memang tak pernah mendiskusikan hal ini. Jauh-jauh hari mereka sudah menduga kalau harga BBM akan dinaikkan. Jadi mereka tak kaget ketika itu terjadi.
"Demonstrasi itu menurutku wajar aja, sebagai bagian dari demokrasi. Begitu juga dengan demo yang memrotes kenaikan harga BBM. Namun, menurut aku, apa yang dilakukan adik-adik mahasiwa itu dia-sia," ujar Kuti.
"Sia-sia? Kenapa?"
"Pertama, banyak demo ditujukan ke pemerintah daerah. Atau DPRD. Padahal kita tahu bahwa naiknya harga BBM merupakan kebijakan pemerintah pusat. Demo ke pemda itu gak akan memberi pengaruh apa-apa..."