Senja hari dengan pisang goreng yang masih hangat… KUTI menikmati pisang goreng yang manis itu sambil membaca koran sore. Dee duduk di dekatnya, membalik- balik halaman majalah wanita kesayangannya yang terbit hari itu. Pradipta duduk di lantai di dekat mereka, menderetkan beberapa buah mobil- mobilan dan menumpuk balok- balok menjadi rumah- rumah di sekitar mobil- mobil tersebut. Sementara itu, si kembar Nareswara dan Nareswari berkeliaran kesana kemari. Kadang tertawa- tawa datang menghampiri kedua orang tuanya menunjukkan sesuatu. Kadang menggigit- gigit mainan. Kadang mengambil sebuah balok atau mobil- mobilan yang sedang dimainkan Pradipta, membuat kakaknya dengan gemas harus membujuk sang adik untuk mengembalikan mainan tersebut. Dee meneguk teh hangat dari cangkir. Dia sudah selesai membalik- balik halaman majalah untuk melihat cepat secara garis besar apa isi majalah minggu itu dan mulai membaca detailnya dari halaman pertama. Dan tak lama setelah mulai membaca, dia tertawa geli. Kuti menoleh pada istrinya yang masih terus tertawa- tawa. Melihat sang suami memperhatikan dirinya, Dee menyodorkan majalah yang dipegangnya. “ Lihatlah, ‘yang… “ kata Dee pada Kuti, “ Lihat apa yang dikatakan pemimpin redaksi majalah ini. Ahaha… lucu sekali… “ Kuti menerima majalah yang disodorkan Dee, membaca kata pengantar yang ditulis pemimpin redaksinya dan segera dia mengerti, mengapa Dee tertawa.
Sang pemimpin redaksi dengan kocak menuliskan pendapatnya tentang kebanyakan orang yang senang meniru orang lain. Bahkan termasuk bentuk alis orang lain. Padahal, tulisnya, “ Kalau alis KD indah di wajah KD, belum tentu alis itu keren di wajah kita.” Kalimat di akhir tulisannya sungguh menggelitik, “ Gawat, di negeri kita ini bahkan beralis saja sudah seragam. Tidak adakah kebebasan untuk berekspresi? Mungkin kita bisa mulai dengan merapikan alis versi bentuk alis kita sendiri, bukan KW dari wajah orang lain. “ Ha ha ha, bahkan alis-pun ada KW-nya? Bentuk palsu, tiruan dari sesuatu yang populer? “ Lucu ya? “ kata Dee pada sang suami. Kuti mengangguk. Kalimat- kalimat pengantar sang pemimpin redaksi memang lucu, walau sebenarnya tajam. “ Ya begitulah ‘yang, “ kata Dee sambil tertawa geli, “ Banyak dari kita ini seperti tidak tahu arah saja, tidak bangga dengan kepribadian sendiri, senangnya koq ikut arus. Bukan hanya dalam ukuran negara seperti di tulisan itu, tapi dimanapun. Dalam kelompok kecil, komunitas, atau apapun namanya, yang seperti itu kan juga terjadi... “ Kuti tersenyum. Ditatapnya sang istri. Ah, pikir Kuti, Dee dengan free spirit-nya itu. Kuti sangat mengenali istrinya. Dee adalah seseorang yang memiliki cara pandang bahwa setiap orang adalah orang yang merdeka. Dan dari pandangan semacam itulah dia akan melangkah. Walau Kuti juga tahu bahwa Dee sangat sadar bahwa sebab dia hidup di dunia dengan banyak orang di sekitarnya, maka kemerdekaan itu bukanlah kemerdekaan yang tak berbatas. “ Kemerdekaan kita itu, dibatasi oleh hak orang lain, “ begitu Dee selalu berkata. “ Karenanya, setiap langkah kita harus upayakan agar tak menggangu hak orang lain itu.. “ Dee masih tertawa- tawa sambil berkata pada suaminya, “ Menurut aku ya ‘yang, “ kata Dee, “ Orang- orang yang berkepribadian kuat nggak akan sih sampai mau- maunya membebek, menyeragamkan diri dengan sekitarnya hanya agar dianggap menjadi bagian dari suatu kelompok, atau dianggap tahu trend mutakhir, atau semata agar tak dikucilkan atau dimusuhi oleh sekitarnya. Orang dengan kepribadian kuat yang merdeka akan memilih jalannya sendiri, sesuai dengan hati nuraninya. Dia akan mempelajari apa yang baik, apa yang tidak, dan berdasarkan keyakinannya terhadap apa yang baik apa yang tidak itulah dia akan melangkah. Bukan karena pendapat sekitarnya… “ “ Sebab kebenaran seringkali tak bisa diukur oleh banyaknya orang yang mendukung pendapat itu ya, Dee? “ kata Kuti. Dee mengangguk. Dia teringat pada satu kalimat favoritnya. Kalimat yang pernah dikatakan oleh Mahatma Gandhi, “ Even if you are a minority of one, the truth is the truth… “ Tak ada urusan minoritas atau mayoritas dalam kebenaran. Jikapun hanya satu dari seribu yang mengatakan, yang benar tetaplah benar. Apalagi jika jumlah yang banyak itu sebenarnya bukan sesuatu yang murni tapi semata rekayasa untuk menggiring pendapat. Apa gunanya hal semacam itu? Dee tertawa- tawa lagi. “ Untunglah, “ katanya, “ Aku bukan tukang dandan. Jadi aku nggak pernah repot ngurusin bentuk alisku. Sebab aku menyukainya seperti apa adanya. Kalau nggak, repot banget aku nanti, mesti memperhatikan berapa derajat bentuk lengkung alis yang sedang trend saat ini dan mengikutinya. Lagipula, bagaimanapun bentuk alisku, kamu tetap sayang aku, kan? “ Kuti terbahak mendengar komentar sang istri. Ada- ada saja istrinya ini!
*** gambar diambil dari beautylish.tumblr.com ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H