Planning is bringing the future into present so you can do something about it now ( Alan Lakein )
Tahun lalu, kami -- aku dan suami -- mendampingi si bungsu untuk persiapan seleksi masuk perguruan tinggi.
Situasi sungguh tidak normal. Wabah virus baru saja merebak. Separuh semester kedua saat si bungsu duduk di kelas 2 SMA ( kelas 11 ) dijalani dengan pembelajaran daring. Sekolah di rumah.
Menjelang dia naik kelas 3 SMA belum ada kepastian akan seperti apa pembelajaran dilangsungkan.
Duh. Timingnya koq ya pas dia akan menghadapi situasi besar dan berat semacam seleksi masuk perguruan tinggi pas sekolah diselenggarakan dengan cara darurat begitu.
Namun mengeluh saja tak ada gunanya. Waktu akan terus berjalan. Ada wabah ataupun tidak, seleksi itu akan tetap mesti diikuti.
Kami orang tuanya memutuskan untuk melibatkan diri lebih dalam dibandingkan dengan ketika kedua kakaknya menghadapi momen yang sama.
Kakak- kakaknya dulu menghadapi seleksi masuk perguruan tinggi pada situasi normal. Kami tentu juga memantau, namun bagi si bungsu, sebab begitu banyak ketidak pastian dan juga jalur komunikasi yang sedikit tersendat atau kadang lebih lama dari biasanya, kami putuskan untuk tak semata menggantungkan diri pada program sekolah.
***
SMA tempat si bungsu bersekolah adalah sebuah SMA Negeri yang baik. Aku melihat bagaimana pihak sekolah berusaha dengan sungguh- sungguh agar pembelajaran bisa berlangsung baik. Tapi bagaimanapun, dengan jam belajar yang dipangkas, lebih pendek dari biasa, dan beragam kendala semasa pembelajaran daring, sudah bisa diduga bahwa sekolah akan banyak berfokus pada penyelesaian kurikulum yang wajib- wajib dulu. Tambahan- tambahan pelajaran maupun konseling pada murid terkait seleksi masuk perguruan tinggi kelihatannya akan sangat minimal.
Maka kami orang tuanya mesti mengambil peran lebih  banyak.