"Kenapa yang miskin bisa langsung diterima, dan yang tidak miskin tapi nilai ujian nasionalnya lebih tinggi tergeser oleh yang miskin ini?"
Begitu kira-kira salah satu kalimat yang muncul dalam berita-berita dan tulisan-tulisan berbentuk opini yang bertebaran menjelang tahun ajaran baru ini. Kalimat tersebut menanggapi aturan seleksi murid baru di sekolah negeri, yang salah satu jalur masuknya adalah dengan surat miskin.Â
Pemegang surat miskin (dan beberapa kartu yang menunjukkan identitas miskin seperti Kartu Indonesia Pintar atau Kartu Miskin ) memang bisa mendaftar dan masuk sekolah lewat jalan tol.
Murid-murid miskin ini, tak peduli berapapun nilainya, akan langsung diterima.Â
Jika tidak diterima di pilihan pertama, disalurkan ke pilihan kedua. Selanjutnya, ada beberapa provinsi yang bahkan masih memberikan jaring pengaman berikutnya yang menjamin jika mereka tidak diterima di pilihan kedua sekolah negeri, maka akan langsung disalurkan ke sekolah swasta terdekat (tak disebutkan tentang detail biaya namun aku berasumsi, jika aturannya seperti ini, anak-anak ini bisa jadi tidak akan dikenakan biaya serupa sekolah swasta tapi bahkan bisa gratis uang sekolah seperti di sekolah negeri).
Membaca protes di atas yang bernada mirip seperti yang kutuliskan tentang jalur tol untuk anak-anak miskin, ingatanku melayang pada sebuah percakapan dulu. Duluuu sekali, mungkin lebih dari 10 tahun yang lalu.
Ini adalah percakapan dengan seorang kawan masa kecil, yang di masa dewasanya kemudian menjadi guru. Dia guru teladan tingkat provinsi, yang ketika itu menjadi Kepala Sekolah di pinggiran kota kecil.
***
Kami, aku dan kawanku itu, sering bertukar cerita. Salah satu topik yang sering kami obrolkan adalah tentang murid-muridnya.
Aku, yang bukan guru dan tidak punya murid, kalau pembicaraannya menyangkut urusan sekolah, biasanya menanggapi ceritanya dengan kisah-kisah dari sekolah anak-anakku sendiri.
Kisah-kisah yang oleh kawanku itu, sering diledek sebagai "obrolan khas orang kota besar", katanya. Dia bilang, topik tentang passing grade, sekolah favorit, beragam jenis sekolah yg visinya rupa-rupa itu, adalah khas topik obrolan orang-orang di kota besar.
Dia bilang, di dekat sekolahnya, jangankan bicara soal sekolah favorit atau sekolah yang menjual beragam visi yang konon mendukung pengembangan potensi anak, lha anak bisa dan/atau mau sekolah saja sudah untung, katanya.
Menurut kawanku ini, masalahnya tentang anak-anak di sekitar sekolahnya di pinggiran kota kecil itu kompleks.Â
Konon anak-anak ini harus dibujuk untuk datang ke sekolah buat belajar atau buat ujian. Bahkan ketika sekolah sudah berusaha memberikan perhatian dan membantupun, anak-anak ini sering tidak sekolah. Di hari ujian pun banyak yang sampai harus dijemput didatangi ke rumahnya agar mau ikut ujian.
Kendala sering datang bukan hanya dari anaknya tetapi juga orang tuanya. Orang tua mereka banyak yg menganggap lebih baik anak diminta membantu pekerjaan orang tua di rumah saja karena terasa lebih berguna daripada pergi ujian ke sekolah.
***
Dalam percakapan lebih jauh, suatu ketika, temanku ini menjgatakan bahwa murid sekolah itu bisa diklasifikasikan dalam 4 kuadran.
Penggolongannya kira-kira adalah sebagai berikut: (1) Murid pintar yang datang dari keluarga mampu, (2) Murid kurang pintar dari keluarga mampu, (3) Murid pintar dari keluarga tidak mampu, dan yang terakhir (4) Murid kurang pintar dari keluarga tidak mampu.
Dia bilang, yang paling beruntung tentu murid-murid di kuadran pertama, yang sudahlah pintar, datang dari keluarga mampu pula. Lalu, murid dari kuadran dua dan tiga, juga cukup beruntung. Yang tidak pintar tapi kondisi ekonomi keluarganya baik, akan bisa mencari jalan keluar. Yang pintar dari keluarga tidak mampu, juga masih ada yang akan memikirkan. Ada beasiswa dan bantuan-bantuan yang diberikan. Tapi, katanya, anak-anak di kuadran empat, anak-anak yang tidak pintar yang datang dari keluarga kurang mampu itu, siapa yang mikirin?
Tak ada yang memperhatikan anak-anak di kuadran keempat ini. Lalu nanti, kalau tidak diperhatikan, yang terjadi adalah lingkaran setan. Masa depannya suram, dan lalu saat kelak mereka sendiri memiliki anak, maka anak-anaknya juga akan terjebak dalam kekurangpintaran dan kemiskinan yang sama. Teruslah mereka akan berputar di lingkaran serupa itu ...
Solusinya apa buat anak-anak di kuadran empat itu?
***
Dan ....
Ketika tahun-tahun belakangan ini ada jalur "surat miskin" untuk masuk sekolah negeri, aku dengan serta merta teringat pada percakapan lebih dari 10 tahun yang lalu itu.
Jalur masuk dengan surat miskin di mana murid-murid miskin bisa langsung diterima tak peduli seperti apa capaian akademik atau selevel apa tingkat kecerdasan mereka, akan bisa menjadi salah satu jalan keluar yang terbuka bagi murid-murid di kuadran empat tersebut. Anak-anak kurang pintar dan kurang mampu, yang dulu-dulu nggak ada yang mikirin itu, akhirnya kini dijangkau juga oleh kebijakan peraturan penerimaan murid baru.
Orang-orang yang protes "Kenapa yang miskin bisa langsung diterima padahal nilai ujian nasionalnya lebih rendah dari yang tidak miskin?" itu mungkin lupa berempati pada murid-murid yang selama ini au ah gelap kalau sudah menghadapi urusan sekolah. Murid-murid yang ruang geraknya sempit, pilihan hidupnya terbatas.
Aturan itu, merupakan titik cahaya yang mulai muncul di antara kegelapan. Memang, mungkin tidak akan bisa langsung aturan ini menjadi solusi bagi 100% anak-anak di kuadran empat karena ya itu, masalah mereka itu kompleks. Tapi setidaknya, sudah ada titik terang mulai tampak.
Dan lalu .... itu akan membawa kita pada topik berikutnya.
***
Titik terang itu, kelip cahaya yang sudah mulai tampak itu, ternyata di banyak tempat lalu disabotase.
Eh, disabotase?
Oleh siapa?
Lhooo ... oleh ituuuu, oleh para murid dan orang tua yang mendaftarkan anak-anaknya dengan surat miskin padahal mereka tidak miskin!
Sudah jadi rahasia umum, bahwa di awal tahun ajaran baru, banyak orang yang mendadak ingin diakui sebagai orang miskin. Yang dengan berbagai cara mengurus surat miskin agar anaknya bisa diterima di sekolah yang diinginkan.
Sadar tidak sih, bahwa kelakuan seperti itu, bukan hanya bisa disebut curang tapi sebetulnya jahat.
Iya. J-a-h-a-t. Dan ini kejahatan serius. Bukan model "jahat" menggemaskan seperti yang diucapkan Cinta pada Rangga di film Ada Apa Dengan Cinta 2? " Apa yang kamu lakukan itu jahat, "  yang lalu menjadi kalimat sangat populer, sumber inspirasi meme yang kemudian bertaburan di mana-mana itu.
Yang ini jahatnya jahat betulan.
Sebab kelakuan membuat surat miskin itu mengambil hak anak-anak yang begitu helpless, yang selama ini ada dalam kegelapan, yang mungkin baru saja setelah sekian lama, bisa melihat titik cahaya di kejauhan.
Aku sendiri berpikir, mestinya bukan cuma dikeluarkan dari sekolah tapi dituntut pidana, karena memalsukan surat (eh, bisa tidak sih yang begini ini dipidanakan?)
Dan dikeluarkan dari sekolah, walau tampak tegas, tapi bisa jadi itu tindakan yang terlambat. Jika dilakukan setelah murid-murid baru masuk sekolah, anak yang menggunakan surat miskin palsu itu bisa jadi dikeluarkan, tapi apa kabarnya anak-anak yang betulan miskin (baik miskin yang pintar, apalagi miskin yang tidak pintar) yang mungkin saat seleksi tergeser dan jadi tidak diterima di sekolah tersebut karena bangku hak mereka direbut oleh orang-orang yang sebetulnya tidak berhak, yang tidak miskin tapi mendadak mengaku miskin itu?
Betul kan? Itu jahat sejahat-jahatnya.
Sekolah itu hak semua anak. Baik dia pintar, tidak pintar, kaya, miskin. Mbok ya,play fair dong. Jangan ambil hak orang lain. Apalagi orang lain yang sudah terjepit begitu. Kebangeten.
Dan itu tidak mendidik. Anak-anak yang biasa diajari curang dan jahat, bisa jadi menyerap ajaran serupa itu, kemudian saat dewasa akan memiliki karakter "yang penting gue untung, senang, sabodo amat dengan orang lain".
Ih, males banget nggak sih, kalau di masa depan, ada banyak anak yang tumbuh dengan karakter serupa itu gara-gara orang tuanya di saat mereka anak-anak dan remaja mencontohkan urusan "mendadak miskin" itu?
Oh ya, omong-omong ya, aku jadi ingin tahu, pihak-pihak yang berwenang mengeluarkan surat miskin, kalau mengeluarkan surat, melakukan verifikasi atau memang surat yang bernama SKTM itu diobral murah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H