Belum lama ini, aku menghadiri orasi ilmiah Guru Besar yang disampaikan oleh adikku..
ADIKKU, baru saja dipromosikan menjadi seorang profesor, Guru Besar, di sebuah perguruan tinggi. Kami sekeluarga, tentu saja bangga dan bahagia karenanya. Bagaimanapun, menjadi Guru Besar, apalagi adikku meraihnya pada usia yang relatif muda dibanding para Guru Besar lain, , merupakan suatu pencapaian yang signifikan dari sebuah perjuangan panjang.
Saat menyaksikannya berdiri di podium menyampaikan orasinya, memori di kepalaku berputar. Menayangkan beragam ingatan tentang banyak langkah perjuangan itu. Termasuk, satu hal yang akan kuceritakan ini. Kisah di balik layar tentang dana beasiswa..
***
Pagi itu, pesawat telepon di atas meja kerjaku di kantor berdering. Ketika kuangkat, terdengar suara adikku.
Aku senang sekali, tentu saja, menerima telepon itu, walau dengan segera juga terpikir olehku, ada apa, pasti ini tentang sesuatu yang sangat penting.Â
Adikku saat itu sedang tinggal di Inggris, melanjutkan sekolah ke jenjang Doktoral. Di tahun- tahun tersebut, teknologi belum semaju sekarang. Biaya telepon internasional antar negara, mahal sekali. Jadi pasti ada hal penting yang hendak dia bicarakan sampai dia meneleponku begitu, ke kantor pada jam kerja pula.
Dan benar begitu rupanya.
Jadi begini..
Saat proses penelitian tesis Magister yang dilakukan oleh adikku, ada dua buku rujukan utama yang digunakannya, ditulis oleh, salah satunya, Profesor di sebuah universitas di Inggris. Kemudian, setelah dirundingkan dengan para pembimbing S2nya, di kemudian hari adikku  berangkat ke Inggris untuk menuntut ilmu tingkat Doktorat di bawah bimbingan penulis buku yang bukunya dia gunakan sebagai rujukan di tingkat Magister tersebut.Â
Mimpi adikku untuk dapat bertemu dan belajar dari profesor yang sebelumnya hanya dia kenal melalui text book import yang dibaca dan dipelajari adikku di tanah air itu akhirnya terwujud.