Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Pernikahan Kami dan Lagu Kenangan Itu

31 Juli 2015   11:49 Diperbarui: 12 Agustus 2015   04:49 1393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Wedding Anniversary (weddingcool.com)"][/caption]

 

Ada banyak lagu yang aku suka. Namun ada satu lagu yang sampai sekarang mampu membuatku bergetar jika mendengarnya. Yakni lagu "From This Moment On" yang dibawakan Shania Twain. Lagu itu tak sekedar bagus, namun juga punya kisah. Ya. Lagu itu yang berkumandang ketika aku dan mantan pacar memotong kue pengantin, belasan tahun lalu.

Kami menikah ala Barat, dan seperti biasa, ada 'adegan' pemotongan kue pengantin. Kami, aku dan mantan pacar membagi kue dalam tiga potong. Potongan pertama disuapkan mantan pacar ke orang tuaku. Potongan kedua aku suapkan ke orang tua mantan pacar. Dan potongan ketiga kami suapkan. Aku dan istriku.

Sampai sekarang, perasaan ketika saling menyuapi itu masih terasa. Dan saat saling suap, teman yang menjadi wedding singer membawakan lagu "From This Moment On..."

Persiapan ribet

Kami menikah setelah bertahun-tahun pacaran. Di Manado, prosesi pernikahan diawali dengan acara yang disebut Maso Minta. Yakni proses ketika keluarga laki-laki melamar si perempuan. Aku ingat, semua berawal ketika kami, aku dan mantan pacar, memutuskan untuk pindah ke 'next level'. Kami sudah lama pacaran. Keluarga kedua pihak sudah setuju. Kami sudah bekerja. Apa lagi yang ditunggu?

Aku lalu menyampaikan niat menikah ke ortu. Dan mereka setuju. Aku lalu menyampaikan kabar ke ibu si mantan pacar. Menyampaikan bahwa dalam waktu dekat orang tuaku akan datang untuk melamar.

Proses lamaran hanya awal dari beragam persiapan yang harus dilakukan. Pertama menentukan tanggal pernikahan. Kemudian mengatur busana. Aku memakai jas, tentu saja dan calon istri mengenakan gaun pengantin. Gaun pengantinnya baru dan dibuat khusus oleh seorang teman yang pintar menjahit. Modelnya diambil dari majalah khusus penikahan.

Model pakaian yang dipakai kedua ibu juga disiapkan. Begitu juga dengan yang dipakai adik-adikku dan adik mantan pacar yang perempuan.

Kami menghubungi belasan teman perempuan untuk menjadi pagar ayu. Dan untunglah mereka bersedia. Mereka mengenakan pakaian yang modelnya senada. (Untunglah teman-teman yang baik hati itu bersedia menanggung sendiri biaya jahitnya. Semua teman yang dulu menjadi pagar ayu itu kini sudah jadi emak-emak, hehehe).

Yang agak repot adalah menentukan siapa yang akan diundang. Pernikahan kami merupakan yang pertama dari dua keluarga. Dan sebagaimana layaknya pernikahan di daerah lain di Indonesia, perkawinan itu melibatkan empat keluarga. Yakni keluarga ayah dan ibu calon mempelai laki-laki dan keluarga ibu dan ayah calon mempelai perempuan. Kemudian rekan di kantor. Untunglah, karena berasal dari kampung yang sama, kami punya teman yang relatif sama di kampung.

Untuk undangan, kami memutuskan untuk membuat yang unik. Yakni undangan yang digulung, mirip surat tempo doeloe. Sepupu yang pintar mendisain dan punya kemampuan dalam cetak mencetak bisa mewujudkan. Tepi undangan ditempeli potongan pipa yang ujungnya direkatkan kancing berwarna emas.

Pernikahan yang berlangsung 31 Juli itu diawali dengan pemberkatan di gereja. Kemudian malam harinya dilanjutkan dengan resepsi. Untuk resepsi kami menyewa sebuah gedung dengan kapasitas lumayan besar. Sewa gedung sudah termasuk katering. Untuk berjaga-jaga, kami juga menambah jenis makanan, termasuk beberapa ekor babi putar (yang sangat disukai warga Manado dan Minahasa). Gedung itu penuh sesak. Semua keluarga, teman dan handai tolan hadir. Dan utunglah, persediaan makanan berlimpah. Dan masih banyak sisanya.

Bulan madu dan kehamilan yang tertunda

Usai resepsi, malam sudah larut. Karena capek, kami berdua memutuskan untuk menunda malam pertama hingga pagi hari. Siang hari, usai ibadah Minggu, ada acara syukuran pernikahan (di Manado namanya Balas Gereja) yang diadakan di rumah istri. Sore hari, sang istri mengajak saya untuk mencuci seprei. Sang mantan pacar merasa tidak nyaman untuk tidur di seprei yang ada bercak darah.

Malam hari, acara bulan madu dengan sangat menyesal terpaksa ditunda. Karena tanpa disangka, mantan pacar sudah mendapat.... haid. Sialll!!!

Sebagai pengantin baru kami ingin secepatnya punya anak. Aku pun "berkonsultasi" ke Paman Google untuk menanyakan trik punya anak laki-laki. Ya. Kami menginginkan anak pertama laki-laki. Dan dalam salah satu artikel, ada yang membahas tentang kemungkinan lahirnya anak laki-laki dan perempuan, yang terkait dengan asam dan basa. Intinya, jika ingin anak laki-laki, yang harus diupayakan adalah istri mencapai puncak terlebih dahulu, baru si suami. Jika ingin anak perempuan, suami yang harus lebih dulu mencapai klimaks.

Kami pun mencoba kiat itu. Namun kami sadar, bekerja saja tidak cukup jika tidak ditunjang oleh doa. Jadi, setiap pagi sesudah bangun dan menjelang tidur malam, kami mendoakan secara khusus. Kami berdoa supaya diberikan anak, dan jika memungkinkan, kami ingin anak laki-laki.

Beberapa minggu kemudian istri bilang bahwa haidnya sudah terlambat. Karena gembira, kami 'merayakannya' dengan bermain cinta. Beberapa saat kemudian dengan wajah murung istri bilang kalau dia sudah mendapat haid. Situasi seperti itu terus terjadi. Haid yang sempat terlambat tiba-tiba nongol lagi.

Aku kembali "berkonsultasi" ke paman Google. Dan ada info yang menyarankan agar pasangan menunda berhubungan intim jika istri sudah terlambat haid. Kami mencoba kiat itu. Dan setelah beberapa hari istri tetap terlambat haid, kami berkonsultasi ke dokter kandungan.

Dokter yang memeriksa itu cantik sekali. Dan ramah. Setelah memeriksa dan mendengar cerita kami, dokter itu bertanya apakah aku siap untuk puasa. Maksudnya puasa untuk tidak melakukan "itu".

"Oh tentu saja dok. Gak masalah. Berapa lama?" tanyaku.

"Tiga bulan pak," jawab si dokter.

"Waduh, tiga bulan dok? Bukannya tiga hari?" tanyaku memastikan. Puasa tiga bulan itu bukan waktu yang singkat. Tapi demi si calon buah hati, terpaksa aku harus mematuhi.

Dan berbulan kemudian, anak kami yang pertama lahir. Dan seperti yang kami minta ke Sang Pencipta, yang lahir lakil-laki

Kami mensyukuri hal itu dan menganggapnya sebagai anugerah Tuhan yang luar biasa. Kami pun menamainya dengan nama dalam bahasa Ibrani yang artinya "Allah memberi anugerah".

Tiga tahun kemudian istri mengusulkan agar kami memberi adik untuk si sulung. Dan karena anak pertama cowok, kami inginnya anak kedua cewek. Kami pun mencoba menerapkan sesuai 'teori' yang aku baca, tentu sambil memohon kepada Yang Kuasa. Dan anak kami yang kedua lahir. Perempuan. Kami memberi nama yang artinya "putri yang cantik". Beberapa tahun kemudian, anak yang ketiga lahir. Laki-laki, yang dinamai sesuai kombinasi nama kedua kakaknya.

Perjalanan panjang

Menikah itu menyenangkan. Namun realitanya tak hanya perasaan senang yang kami rasakan. Belasan tahun menikah kami telah melalui berbagai hal. Ada banyak momen yang membuat kami tertawa. Namun ada juga masa ketika kami menangis. Ada saat yang mengharukan, menggetirkan, mengagetkan menggemaskan dan menakutkan.

Ada banyak tantangan. Cobaan. Godaan. Badai. Topan. Gelombang. Jalan yang kami tempuh tak hanya berliku namun penuh batu dan kerikil tajam. Kadang kami jatuh dan terperosok. Namun untunglah, dengan pertologan Yang Kuasa, kami bisa bangkit lagi.

Kini, setelah belasan tahun menikah, kami sudah saling memahami. Kami juga tahu bahwa ada perjalanan panjang yang menanti. Seiring dengan makin besarnya anak-anak, dengan pesatnya perkembangan teknologi, dengan makin besarnya tantangan, pernikahan bukan sesuatu yang mudah.

Namun kami yakin, tantangan itu bisa dilewati. Tentu tak hanya dengan senyum dan tawa. Akan ada tangis dan air mata. Akan ada kerumitan dan kegelisahan. Akan ada amarah dan saling diam. Namun kami yakin, dengan tuntunan Yang Maha Kuasa, kami akan bisa melalui hal itu.

[caption caption="Para buah hati (dok. pribadi)"]

[/caption]

 

 

[caption caption="Mandi (dok. pribadi)"]

[/caption]

 

[caption caption="Kami itu (dok. pribadi)"]

[/caption]

Catatan

Tulisan ini dibuat oleh om-om yang terkadang masih merasa dirinya anak muda, hahaha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun