Tentang rumah. Dan mimpi- mimpi...
AKU ini pada dasarnya memang pengkhayal. Dengan tingkat keliaran yang bisa jadi merepotkan jika khayalan itu coba diwujudkan.
Salah satunya adalah tentang keinginan tinggal di tempat terpencil yang indah. Tempat tinggi yang diapit dua buah gunung.
Suatu saat, ketika tabungan terkumpul, kukatakan pada suamiku bahwa aku ingin membeli sebidang tanah disana.
Suamiku tertawa. “ Trus mau ngapain di tempat itu? “ katanya.
“ Ya tinggal disana. Nantiiiii , “ jawabku.
Kubayangkan bahwa kami akan tinggal di sebuah rumah kayu dimana halamannya yang luas akan kutanami bunga berwarna- warni.
Suamiku, untunglah, telah bertahun- tahun terlatih untuk mendengarkan beragam ideku yang muncul tiba- tiba. Dan seaneh apapun ide itu, dia biasanya menanggapi dengan ketenangan yang luar biasa.
Kali ini, dia mengatakan bahwa walau ‘nantiiii’ – artinya, masih lama – namun sebab lokasinya begitu terpencil kemungkinan besar infrastruktur di tempat tersebut tetap tak akan berkembang sehingga tidak dapat menunjang aktivitas yang biasa kami jalani.
Kendati sabar dan tenang, suamiku memang bukan orang yang suka bermalas- malasan. Baginya, orang hidup harus produktif dan ada yang dikerjakan. Tempat semacam itu tak sesuai untuk tempat tinggal baginya.
Oh, baiklah. Tentu saja aku tak mau tinggal di tempat dimana suamiku tak ingin tinggal, seindah apapun tempat itu.