Kembali, tentang urusan- urusan hati...
UNTUK kesekian kalinya, komentar yang diberikan pak AJ menggelitikku. Bukan sebab tak setuju, karena aku tahu bahwa yang dikatakannya benar. Tapi tetap saja, hal yang benar itu membuatku tak tahan untuk tidak mempertanyakan kebenarannya.
Ketika Ellen menulis post tentang kebiasaan menuliskan nama suami di belakang nama perempuan yang sudah menikah, dan juga tentang bagaimana pada suku tertentu seorang istri seringkali dipanggil dengan nama kecil suaminya ( yang oleh Ellen dengan kocak diterjemahkan menjadi kalimat "Koq Jadi Ganteng Setelah Menikah?" ) pak AJ memberikan komentar seperti ini: " Di Jawa emang terbiasa memanggil perempuan yg sudah menikah dengan nama suaminya. Bukan untuk merendahkan status sang isteri kok, tapi untuk menjelaskan dan menarik pagar jelas untuk orang lain agar selalu ingat bahwa si perempuan sudah menikah."
[caption id="attachment_260236" align="aligncenter" width="508" caption="Gambar: www.flickr.com/photos/42957889@N05/"][/caption] Kutuliskan komentarku di bawah komentar pak AJ.
Pada intinya, aku menanyakan apakah benar seseorang itu bisa 'dipagari' semata dengan menyematkan nama suami di belakang namanya?
Bahwa tujuan menuliskan nama suami di belakang nama perempuan yang sudah menikah itu seperti yang dijelaskan pak AJ, itu benar. Tapi apakah hal tersebut benar bisa memagari, masih kupertanyakan.
Sebab, menggunakan nama suami di belakang namanya maupun tidak, jika seseorang memang ingin keluar pagar, maka itu akan dapat terjadi juga. Begitu pula, penggunaan nama suami tak sepenuhnya bisa mencegah orang lain menerobos masuk ke dalam halaman berpagar. Walau berpagar, jika memang berniat masuk, maka itu akan bisa pula terjadi.
Karena, setiap manusia itu merdeka. Dia tak akan bisa diikat atau dipagari tanpa kehendaknya sendiri. Maka menurutku, bukan apakah setelah menikah seorang istri menggunakan nama suaminya atau tidaklah yang terpenting untuk tak berpindah ke lain hati.
Titik kuncinya justru ada pada saat sebelum pernikahan. Pada dasar pengambilan keputusan ketika itu.
Yang paling mendasar bukanlah nama, namun apakah seorang perempuan menikah dengan orang yang benar- benar dicintainya. Apakah sudah teruji (sebelum menikah) bahwa tak ada lelaki lain yang bisa merebut hati perempuan tersebut seperti lelaki yang kemudian menjadi suaminya itu?
Adakah perempuan tersebut yakin bahwa dari sekian banyak pilihan yang tersedia baginya saat gadis dulu bahwa hanya dengan lelaki itulah dia ingin bersama- sama menjalani hidup untuk berpuluh tahun ke depan?