Adikku dengan segera mengangguk. “ Gema Sebuah Hati? “ katanya.
Aku tersenyum dan menjawabnya dengan anggukan juga. Ah, dia masih ingat juga rupanya, pikirku...
Adikku, dan aku, di masa remaja kami dulu, memang tergila- gila membaca beragam novel.
Menyiasati uang saku kami yang terbatas, setiap kali hendak membeli buku, kami memastikan bahwa yang kami beli adalah judul yang berlainan, sehingga kami dapat saling bertukar novel.
Boleh dikatakan, apa yang dibacanya saat itu adalah juga novel yang aku baca. Karena itulah kami sama- sama 'mengenal' Tia, Martin, dan Monik, tokoh- tokoh utama dalam novel yang kami baca dulu.
Kisah cinta tragis Monik dan Martin dalam Gema Sebuah Hati telah kubaca.. mmm.. entahlah, mungkin delapan kali, atau lebih?
Dan tak perduli begitu seringnya sudah aku membaca, aku selalu terharu ketika cerita tiba pada bagian dimana Monik menatap kipas kertas yang ditulisi puisi dalam huruf Cina. Puisi itu adalah puisi cinta Martin pada Monik. Puisi sedih yang diakhiri dengan kalimat “ dan kau sama sekali tak perduli… “ -- begitu kalimat terakhir akhir puisi di kipas kertas tersebut.
Martin, diceritakan dalam novel tersebut, telah lama jatuh cinta pada Monik, teman sekuliahnya yang sebenarnya sudah mempunyai pacar. Monik sendiri, selama itu bersahabat dengan Martin tanpa menyadari bahwa kedekatannya dengan sang pacar sebenarnya hanya kedekatan semu dan cinta sejatinya sebetulnya mengalir untuk Martin.
Monik baru menyadari hal itu ketika Martin yang patah hati pergi meninggalkan tanah air, menuju Peking (sekarang ditulis dengan ejaan Beijing), yang ketika itu sedang bergolak.
Sampai hari ini, aku ingat kata per kata surat balasan Monik pada Martin yang dalam novel tersebut diceritakan ditulis dalam kertas lusuh, “ Keluar dari Peking, Martin. Aku cinta padamu. “
Ha ha ha…