Suatu hari ketika helai- helai kapuk putih beterbangan di angkasa… “ PERANG bantal guling! “ seru adikku. Aku terbahak. Kami berada di dalam mobil, di sekitar Kebun Raya Bogor ketika itu. Mobil membelok dan adikku dengan penuh minat memperhatikan nama- nama jalan di seputar area itu. Ketika kutanyakan apa yang dia cari, pertanyaan itu dijawabnya dengan, “ Rumah Tia. Di sekitar sini kan, mestinya? “ Kembali aku tergelak. “ Memang di sini ya rumahnya? “ tanyaku. Adikku mengangguk. “ Jalan Salak, kan? “ katanya. Aku menggelengkan kepala. Tidak ingat, jawabku. “ Iya, jalan Salak, “ jawab adikku. Lalu dia menyebutkan sebuah nomor yang konon adalah rumah Tia yang disebutnya tadi.
***
Siapa Tia? Oh bukan, dia bukan kawan kami. Bukan seseorang yang dikenal sehari- hari oleh adikku maupun aku. Tia itu.. seorang tokoh fiksi. Tokoh utama dalam sebuah cerita bersambung yang dimuat di sebuah majalah ketika kami remaja. Cerbung yang ditulis oleh Kembangmanggis ini kemudian diterbitkan menjadi buku, dan baik aku maupun adikku membacanya berulang kali. Lagi.. lagi.. dan lagi. Tia yang cerdas, agak cuek, lucu dan menggemaskan, sang tokoh utama cerita fiksi tersebut disebutkan sebagai anggota team bola volley sekolahnya, SMA Regina Pacis. Dia sering berjalan kaki dari rumah ke tempat pertandingan volley di kampus IPB, sambil menikmati kapuk- kapuk putih yang beterbangan. Peristiwa kapuk putih beterbangan inilah yang disebut oleh Tia sebagai situasi dimana sedang terjadi “perang bantal guling.” Dan mengapa komentar adikku itu menjadi unik menurutku? Ha ha ha.. Sebab.. ketika dia menyaksikan kapuk melayang di angkasa dan komentar spontannya adalah “ perang bantal guling! ”, serta peristiwa dimana adikku itu dengan seksama mengamati deretan rumah- rumah di sebuah area mencari rumah Tia, tidak terjadi saat kami remaja. Kami sudah dewasa saat itu. Adik yang kuceritakan ini Doktor di bidang aeronotika. Hasil penelitian yang dituangkannya dalam sebuah thesis tebal untuk mengambil gelar Doktornya di kemudian hari diterbitkan sebagai sebuah text book oleh sebuah penerbit terkenal di dunia. Dia juga berulang kali diundang untuk menjadi pembicara mempresentasikan jurnal ilmiah yang ditulisnya dalam seminar- seminar di berbagai negara. Itu sebabnya, melihat tingkat pendidikan dan bagaimana beragam jurnal rumit yang ditulisnya dapat menembus seleksi level dunia, lucu rasanya bahwa reaksi spontan dia terhadap kapuk melayang itu adalah sesuatu yang berhubungan dengan fiksi yang dibacanya saat remaja. Ha ha ha..
***
[caption id="attachment_164920" align="aligncenter" width="398" caption="Kipas Kertas. Foto: shanghai.cultural-china.com"][/caption] Tapi sebenarnya, bukan hanya adikku yang pernah bersikap seperti itu.
Aku juga.
Suatu hari beberapa tahun yang lalu, ketika aku berkesempatan pergi ke Jepang dan mengunjungi Tokyo National Museum, aku berhenti agak lama di depan sebuah kipas kertas yang dipamerkan di museum tersebut. Kipas kertas itu dihiasi lukisan dari tinta serta bertuliskan huruf- huruf kanji yang tak kumengerti.
Lamaaaa kutatap kipas kertas tersebut.
Adik yang sama dengan yang kuceritakan di atas ada bersamaku di museum tersebut. Dia sendiri berjalan dari satu area ke area lain. Lalu kemudian ketika melihat aku lama tak beranjak di suatu tempat, dia menghampiri aku.
Aku menoleh padanya dan berkata, “ Ingat nggak, kipas kertas yang dikasih Martin ke Monik? “
Martin… Monik… ?