Jangan menilai buku dari sampulnya. PEPATAH populer tersebut di atas itu, jika dikaitkan dengan buku- buku terbitan India, barangkali bisa ditambahkan lagi: jangan menilai buku dari jenis kertas dan kualitas cetaknya. India memang luar biasa. Aku yakin sebagian besar dari kita pernah mendengar tentang harga textbook yang sangat miring di India. Demi membuat harga buku terjangkau bagi penduduknya, pemerintah India menerbitkan buku- buku terbitan Amerika dan Inggris dalam versi lokal. Mereka mencetak buku- buku tersebut menggunakan jenis kertas berkualitas 'sekedarnya'. Hasil cetaknyapun biasanya lebih sederhana dibandingkan dengan buku berjudul sama yang diterbitkan di Amerika dan/ atau Inggris. Jenis kertas dan cetakan yang sederhana, harga tenaga kerja yang murah serta peraturan pajak yang menguntungkan membuat biaya produksi buku- buku ini konon hanya sekitar 10% -- terkadang bahkan lebih murah lagi -- dari biaya produksi buku yang sama di USA atau Inggris. Sebagai contoh, ada sebuah buku yang berharga lebih dari US$ 100 di Amerika, dijual di India dalam versi penerbit lokal seharga US$ 8 saja. Buku- buku itu diterbitkan secara legal, dengan lisensi dari penerbit aslinya. Dengan peraturan bahwa buku- buku ini hanya akan dijual di India. Tidak untuk diimport. Hanya saja memang tidak ada peraturan yang mencegah seseorang yang membeli buku- buku tersebut untuk digunakan sendiri untuk membawanya ke luar India, dan belakangan konon hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sementara orang untuk membeli buku dalam jumlah besar di India dan kemudian mengirimkannya ke luar negeri untuk dijual kembali. Ada beberapa tuntutan hukum pernah terjadi sehubungan dengan hal tersebut. Tapi tentang tuntutan hukum itu, tak akan dibahas dalam posting ini.
***
Sungguh, bagi seorang pecinta buku seperti aku, berada di India seakan berada di surga. Pada suatu hari ketika aku berkesempatan untuk pergi ke toko buku di Delhi di suatu petang, seorang kawan berkebangsaan India yang mengantarkanku ke sana berulang kali bertanya padaku apa yang aku inginkan untuk makan malam itu. Pertanyaan yang berulang kali pula aku abaikan. Berada di tengah- tengah ribuan buku yang sangat menarik saat itu, makan malam sama sekali tak termasuk dalam prioritasku... Dalam kunjunganku ke Delhi tersebut, aku juga terkesan pada suatu kejadian saat mobil yang kutumpangi berhenti di sekitar lampu merah di dekat India Gate, sebuah monumen nasional yang terkenal di India. [caption id="attachment_163215" align="aligncenter" width="412" caption="India Gate. Foto: en.wikipedia.org"][/caption] Ketika itu ada seorang pedagang asongan menawarkan buku. Novel, bukan majalah. Aku mengamati novel yang ditawarkan tersebut, dan... wow! Aku kenali novel itu sebagai salah satu buku yang memenangkan "The Man Booker Prize" belum lama sebelumnya. Aku tahu, karena saat sebelumnya aku baru saja menerima hadiah novel tersebut dari bossku yang baik hati. Ketika aku berada di Delhi itu aku bahkan belum sempat membaca buku pemberian tersebut. Sesaat saja mengamati, dengan segera aku menyadari bahwa sampul dan kertas buku yang ditawarkan di lampu merah tersebut berbeda jenis maupun warnanya dengan buku berjudul sama yang aku miliki. Sampul buku milikku berwarna- warni. Buku yang saat itu ditawarkan di lampu merah di Delhi berwarna hitam putih. Aku yakin buku itu diterbitkan oleh penerbit lokal, dan harganya pasti jauh lebih murah daripada buku yang aku terima sebagai hadiah, walau judul dan isinya sama. Buku milikku sendiri diterbitkan di Inggris. Ah, betapa beruntungnya orang India, begitu gumamku dalam hati. Betapa bagi mereka buku- buku dengan kualitas bagus yang tersedia dalam versi lokal menjadi sangat terjangkau harganya. Tak masalah bahwa sampul buku maupun kertas yang digunakan 'tak seindah warna aslinya'. Untuk sebuah buku, yang penting adalah isinya, bukan semata- mata sampul atau jenis kertasnya.
***
Don't judge a book by it's cover, kata pepatah. Dan... ehm... mengingat pepatah itu, aku jadi teringat sebuah buku berjudul "The Essential Hemingway". Buku itu kini aku letakkan di tempat terhormat di salah satu rak buku di rumahku. Walau bukunya telah menguning. Walau sampulnya agak kusut. Sebab, buku itu punya cerita. Buku Hemingway tersebut adalah... ehm ehm... hadiah pertama yang diberikan kepadaku oleh seorang pemuda yang kelak menjadi suamiku, ayah dari anak- anakku. Hadiah yang diberikannya padaku bertahun yang lalu itu sungguh membuat hatiku meleleh dan memutuskan bahwa setiap saat jika sang pemberi buku itu mengajakku menikah, aku akan mengatakan "ya" tanpa ragu. Saat itu, sebagai seorang gadis, tentu saja aku kerap menerima pemberian- pemberian kecil sebagai tanda perhatian dari para pemuda. Coklat, pernak- pernik kecil, T-shirt, juga puisi maupun cerpen yang (konon) dibuat karena penulisnya terinspirasi olehku. Aku selalu menghargai pemberian- pemberian itu. Karena aku tahu, semua itu diberikan dengan hati yang tulus dan niat baik, walau ada satu hal yang mengherankanku, sebab entah mengapa, sampai saat itu tak seorangpun dari mereka yang memberiku hadiah sebuah buku. Jadi, buku yang diberikan oleh orang yang kelak menjadi suamiku itu adalah hadiah buku pertama yang diberikan oleh seorang pemuda kepadaku. Dan, uniknya, buku itu bukan buku baru, tapi buku second hand ! Saat buku tersebut diberikan kepadaku, sang pemuda -- yang kelak menjadi suamiku -- itu sendiri sudah lebih dulu membacanya. Ketika dia membacanyapun, buku itu bukan buku baru. Buku tersebut dibelinya di pasar loak favoritnya yang sering dia kunjungi kala senggang di sela- sela waktu kuliah ketika dia melanjutkan pendidikannya di sebuah kota di Australia. Sejujurnya, saat menerima buku itu, aku setengah merasa geli, setengah sangat kagum. Bayangkan saja, ketika para pemuda lain memberikan hadiah- hadiahnya dalam kemasan yang sangat cantik, seringkali berpita, atau memberikannya dengan cara yang sangat romantis, lelaki yang satu ini memberikan buku second hand itu dengan cara yang sangat sederhana dan... begitu saja. Tanpa bungkus, tanpa kata- kata yang berlebihan. Membuatku jatuh cinta luar biasa padanya. Aku dengan segera mengerti, lelaki seperti apa dia. Melihat jenis buku yang diberikan, cara dia memberikan buku itu, dan ke'nekad'an-nya memberikan buku second hand sebagai hadiah pertamanya bagiku, dalam sekejap memahami falsafah hidupnya. Dia, walau berwawasan luas dan berpikiran maju, sikapnya sangat sederhana, jujur dan apa adanya. Don't judge a book by it's cover, kata pepatah. Aku sungguh percaya tentang hal itu. Buku bersampul agak lusuh itu membuka langkah awal bagi kebahagiaanku menjalani hidup bersama sang pemberi buku tersebut di tahun- tahun berikutnya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H