Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Strawberry Rasa Melon, Tentang Rasa Makanan yang (Konon) Artifisial

24 Januari 2012   08:17 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:31 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13273675551953909861

Masih tentang perjalanan. Dan makanan. SELALU ada banyak cerita tentang makanan jika kita sedang bepergian ke tempat yang jauh. Selain urusan ngidam bakso yang tadinya tak pernah kuperkirakan akan terjadi, aku memiliki pengalaman serupa yang terjadi selang sekian tahun yang lalu. Saat itu, hari ke sekian aku berada di Atlanta untuk menghadiri suatu acara, dan aku tersenyum geli saat berada di tempat dimana makan siang dihidangkan. Seorang kawan asal Slovenia -- sebuah negara di Eropa yang berbatasan dengan Austria – tiba- tiba ‘mengomel’ tentang makanan Amerika. Dia membuka pembicaraan dengan pertanyaan ini padaku, “ Suka nggak buah- buahan Amerika yg dihidangkan ini? “ Terus terang aku sendiri tak terlalu mengerti, ‘buah- buahan Amerika’ yang mana yang dia maksudkan, karena sejak sarapan pagi sampai siang buah- buahan yang terhidang adalah buah yang sering dan mudah sekali kita juga dapati di Indonesia. Buah- buah semacam melon (hijau), rock melon yang orange, nanas, pepaya serta semangka. Tidak ada apapun yang aneh atau istimewa menurutku dengan buah- buah yang dihidangkan itu. Jadi aku tanyakan, apa persisnya yang dia maksudkan. Nah, pertanyaanku itulah yang membuat dia akhirnya mengomel sembari ‘ceramah’ panjang lebar.. Dia katakan bahwa makanan di Amerika ini terlalu banyak bumbu. Akibatnya rasanya tidak natural, dan kualitasnya tidak lagi bagus. Aku menelan senyumku dan berusaha berempati pada sudut pandangnya dengan bertanya, apa contohnya? Kawan dari Slovenia ini melirik meja makan dengan pandangan agak ‘merendahkan’ dan berkata, “ Kami biasanya makan dengan makanan berkualitas bagus. Misalnya, sayur- sayuran hanya kami beri bumbu minyak zaitun saja, sehingga rasa aslinya masih keluar, dan juga sehat. Disini, begitu banyak campuran bumbunya, rasa makanannya jadi ‘artifisial’. Aku menelan senyumku lagi. Bukan hanya sayur tapi dia juga mencela roti yang dihidangkan yang menurutnya juga ‘roti apa itu, sama sekali bukan roti dari kualitas terbaik.’ Senyumku pada akhirnya tak lagi dapat ditahan ketika kawan ini meneruskan ‘omelannya’ dengan ‘Bayangkan, di sini ini, strawberry saja rasanya seperti melon. Di tempat kami, strawberry terasa strawberry ketika dimakan. Dan oh ya, kami juga memiliki beragam jenis berry lain yang bisa dipetik langsung di hutan… “ ( Strawberry rasa melon? Jangan- jangan dia merasa menyuapkan strawberry tapi sebenarnya yang dimasukkan ke mulutnya itu adalah melon? He he he ... ) Semua ‘celaan’ yang dikatakan kawan dari Slovenia itu masih diakhiri dengan keluhan mengenai rasa air minum di Amerika yang menurutnya juga tak enak karena mengandung terlalu banyak chlor sehingga terasa tak karuan di lidah. “ Air berlimpah di negara kami, “ katanya, “ Kami tidak terbiasa minum dari air yang dikemas dalam botol. Kami minum air dari alam, dan rasanya segar…"

***

Oh, tidak, aku bukan tersenyum karena merendahkan pendapatnya. Aku memahami jalan pikirannya, tapi tetap saja terasa ‘lucu’ bagiku bahwa kawan yang baru kukenal hari ini itu begitu ‘repot’-nya memusingkan makanan Amerika yang menurut dia ‘tidak berkualitas’ itu. Tak ada gunanya menurutku complaint panjang lebar begitu, sebab dia toh hanya sebentar saja berada di Amerika. Mengapa tak dinikmatinya saja makanan yang terhidang, dan kalaupun tak sesuai seleranya, 'artifisial' ataupun kualitasnya tidak bagus, toh minggu depan dia sudah akan berada di negaranya lagi, pulang ke rumah, dan kembali bisa menyantap makanan- makanan yang menurutnya memiliki kualitas terbaik dan rasa yang natural itu…

***

Bahwa orang Amerika senang membuat rasa yang ‘artifisial’ serta ‘terlalu manis’ seperti yang dikatakan rekanku itu, aku sebenarnya setuju.

Dalam perjalanan menuju Atlanta, aku transit di bandara O Hare Chicago selama beberapa jam. Sebab masih memiliki cukup banyak waktu, aku sempat berjalan- jalan di bandara itu. Dan ketika itulah kutemukan satu toko yang menjual caramel apple. [caption id="attachment_158030" align="aligncenter" width="434" caption="Caramel Apple. Foto: www.dotcomwomen.com"][/caption] Caramel apple adalah buah apel yang dicelupkan ke dalam sirup caramel, dengan beragam variasinya. Ada yang benar- benar hanya caramel polos, ada yang bertabur kacang, kelapa, bahkan ada juga yang berbalut cheese cake. Kubeli sebuah caramel apple dengan taburan sejenis kacang- kacangan bernama pecan. Apelnya berjenis Granny Smith, yaitu apel berkulit hijau dengan rasa yang agak masam. Rasa apel yang segar berpadu dengan manis caramel yang meleleh di lidah serta gurihnya pecan memang menghasilkan suatu paduan rasa yang enak. Namun, walau enak, saat menggigiti apel karamelku sedikit demi sedikit aku sendiri juga membatin di dalam hati “ Wah, apel ini sehatnya jadi berkurang kalau sudah dicelup gula sampai manis sekali begini..” Jadi, aku sebenarnya mengerti apa yang dikatakan kawan asal Slovenia itu tentang rasa yang artifisial itu. Hanya saja, aku memang merasa tak ada gunanya repot- repot mencela makanan setempat saat kita sedang dalam perjalanan. Untuk apa? Ketika sedang bepergian, biasanya yang kucari justru makanan lokal setempat, yang mungkin saja cita rasa maupun jenisnya sangat berbeda dengan makanan yang kumakan sehari- hari di tempat asal. Justru itulah seninya bepergian, bukan? Justru untuk merasakan dan melihat hal- hal yang berbeda dengan apa yang kita dapati sehari- hari… Jadi untukku, pada kebanyakan waktu, makanan tak pernah menjadi masalah. Aku hanya menghindari jenis- jenis makanan yang memang tak diijinkan untuk dikonsumsi oleh agama, and… that’s all. Diluar itu kan masih banyak yang bisa dimakan… Nah, saat makan siang itu, aku menyendok salad tuna agak banyak dan mengambil selembar roti gandum berwarna kecoklatan. Aku bermaksud membuat sandwich tuna untuk makan siangku. Kuambil juga sayuran dan tomat agak banyak. Begitu pula dengan buah- buahan. Kusyukuri apa yang ada di piring yang kupegang. Ah, pikirku, begini banyak yang dapat dinikmati, kenapa harus mengomel dan membandingkan dengan apa yang biasa ditemukan di tempat asal sih? Easy going sajalah, pikirku. Di ujung meja, kutemukan beberapa mangkuk berisi beragam salad dressing. Kusendok salah satu diantaranya yang berwarna kuning. Entah apa namanya tapi melihat warnanya, kuduga dressing itu mengandung mustard. Aku menyukai mustard. Lalu, ketika sudah duduk di meja, kusendok makanan di piringku lengkap dengan dressing berwarna kuning yang menarik itu.

***

Dan… Ketika dressing berwarna kuning itu menyentuh lidahku, aku terhenyak kaget. Waduh.. apa ini ??!!! Reaksi spontanku terhadap rasa yang terkecap di lidah itu adalah: “ Whatttt? Kenapa ada dressing dengan rasa seperti spiritus begini? Orang sini seleranya aneh juga, bikin bumbu koq rasanya seperti ini… “ Ah, dasar! Aku mentertawakan diri sendiri. Aku kualat tampaknya karena mengomentari tingkah kawan dari Slovenia itu sebelumnya, ya? Ha ha ha...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun