Mohon tunggu...
Rumah Kayu
Rumah Kayu Mohon Tunggu... Administrasi - Catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Ketika Daun Ilalang dan Suka Ngeblog berkolaborasi, inilah catatannya ~ catatan inspiratif tentang keluarga, persahabatan dan cinta...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Gaya Hidup yang Menjebak Itu

31 Desember 2011   03:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:32 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan deras turun sejak petang dan tak berhenti sampai malam. ANAK - anak sudah terlelap. Kuti tenggelam dalam koran sore. Dee, sang istri, sementara itu melamun dan bermalas- malasan. Dia membaringkan diri dengan kepala di pangkuan sang suami dan dengan senang hati menikmati elusan sang suami di kepalanya. Angan Dee melayang. Dia teringat pada cerita Kuti tentang seorang Bapak yang menginterogasi calon menantunya dengan fokus pada materi. Ah, pikir Dee, Bapak itu lupa bahwa kebahagiaan seringkali tak semata tergantung pada materi. Dee mengerti, sungguh mengerti bahwa semua orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Tapi tak harus dilakukan dengan cara yang menghinakan orang lain seperti itu. Tak perlu merendahkan. Lagipula, mereka baru saja akan mulai membangun rumah tangga bukan? Wajar jika hal tersebut dimulai dengan materi yang sekedarnya. Jika sang menantu memiliki kecerdasan dan etos kerja yang baik, tentunya keadaan ekonomi rumah tangga kelak akan membaik dengan berjalannya waktu. Apalagi, ini yang terpenting, jika ternyata anak perempuannya sendiri jatuh cinta pada lelaki tersebut. Kalau anak perempuan itu terdidik baik, berkepribadian baik dan memiliki rasa dan rasio yang seimbang, maka seharusnya sang Bapak percaya bahwa anak perempuannya memiliki alasan untuk memilih lelaki tersebut sebagai calon suaminya. Tentunya ada banyak hal positif yang ditemukan sang anak pada lelaki tersebut. Hal- hal yang dalam jangka panjang akan berperan secara signifikan dalam kehidupan keluarga yang bahagia. ( Dan dalam hati dengan jahil Dee berpikir, atau… jangan- jangan, Bapak itu meragukan kemampuan anak perempuannya sendiri untuk memilih lelaki yang patut dicintai dan dijadikan pelabuhan cintanya? He he he he he… )

***

Sayang sekali, pikir Dee, saat ini banyak orang yang terlalu memusatkan perhatian pada urusan materi dan melupakan bahwa penikahan yang bahagia tak dapat dibangun melulu dengan kelimpahan materi. Memang sampai batas tertentu kondisi ekonomi yang baik memang akan dapat menjadi salah satu pilar pendukung kondisi keluarga yang bahagia, tapi disamping itu ada banyak faktor lain yang juga harus ada agar kebahagiaan dapat tercipta. Begitulah… Bapak itu hanya satu contoh. Bukan hanya calon mertua, tapi para lajang sendiri juga cukup banyak terjebak pada pemikiran untuk memprioritaskan soal materi dibandingkan kualitas- kualitas pribadi yang lain yang seharusnya dipertimbangkan saat memilih calon pasangan. Dan seringkali fokus pada materi itu begitu tidak proporsionalnya. Dee teringat pada suatu acara yang pernah  populer di sebuah stasiun televisi, dimana para lajang mencoba mencari pasangannya di acara tersebut. Perempuan dan laki- laki menampilkan diri di acara itu, mencoba mencari calon yang cocok dengan dirinya. Dee bukan penggemar acara itu tapi dia pernah menonton potongan- potongan acaranya dan pada suatu saat dia sungguh merasa geli, agak sebal dan setengah tercengang ketika pada salah satu episode ada peserta perempuan yang  tanpa tedeng aling- aling mengatakan bahwa yang dia cari adalah ‘pria mapan’. Alasannya adalah sebab pengeluarannya per bulan sekitar tiga puluhan juta rupiah dan karenanya dia membutuhkan pasangan yang dapat menunjang gaya hidupnya. Eh?! Pengeluaran sejumlah itu per bulan untuk seorang lajang? Dee mulai mengerti mengapa perempuan itu mencari pria mapan. Dee menduga bahwa dia adalah jenis perempuan yang menggemari kehidupan glamour dan mengukur eksistensi dirinya dengan menggunakan barang- barang bermerek dan mengikuti trend yang tentu membutuhkan banyak biaya. Cerita lama. Urusan konsumerisme dan gaya hidup hedonis lagi. Dari data para peserta yang disebutkan sebelumnya, Dee tahu perempuan tersebut bekerja dimana, dan apa posisinya. Dee sungguh prihatin. Dia tahu berapa range gaji untuk jenis pekerjaan tersebut. Jauh dari jumlah pengeluaran per bulan yang disebutkan oleh sang perserta perempuan itu. Jangan- jangan, bahkan separuhnyapun tidak. Lalu… Dee bertanya- tanya, bagaimana ya selama ini dia memperoleh dana untuk memenuhi pengeluarannya itu? Fakta bahwa perempuan itu mencari laki- laki mapan untuk menjadi pasangannya rasanya memberikan kesimpulan yang cukup jelas bahwa dia sendiri bukan pewaris harta melimpah dari orang tuanya, karena itulah dia mencari lelaki yang berkelimpahan materi untuk dapat membiayai hidupnya. Apa yang disaksikan di televisi itu, tampaknya sejalan dengan suatu kejadian yang diceritakan kawan Dee padanya beberapa waktu yang lalu. “ Aku ada di dalam lift di gedung kantorku saat itu, Dee “ teman Dee yang bernama Pipit bercerita. " Hanya ada dua orang di dalam lift. Aku dan seorang perempuan yang dandanannya keren sekali… “ “ Aku perhatikan segala yang dikenakannya, “ kata Pipit, “ Dan dengan iseng mengkalkulasi berapa kira- kira harga baju, sepatu, tas dan segala aksesori yang digunakannya itu. “ Dee terbahak mendengar keisengan Pipit. “ Dan wow… angka yang kutemukan jumlahnya besar sekali, “ Pipit tertawa, “ Lalu… jadinya aku bertanya- tanya dimana dia bekerja dan berapa penghasilannya. “ Dee tersenyum mendengar perkataan kawannya. Logis, pikirnya, logis jika Pipit berpikir begitu. “ Nah, yang konyol Dee, “ Pipit tertawa- tawa ketika melanjutkan ceritanya, “ Setelah lift bergerak naik, di lantai lain masuk seorang lelaki yang rupanya kawan si perempuan itu. Dan dia bertanya pada perempuan tersebut, habis darimana dia…” “ Perempuan itu menjawab bahwa dia baru dari bank, membayar kartu kreditnya, nah lalu... ini yang ‘lucu’ Dee, “ Pipit melanjutkan ceritanya, “ Sang lelaki itu bertanya pada perempuan tersebut ‘bayar berapa?’ Lalu perempuan itu menjawab ‘biasalah, pembayaran minimal saja, pusing juga ditelfon- telfon terus…” Haaa?!! Dee mulai mengerti ke arah mana pembicaraan berlanjut. Itulah, “ Pipit mengangguk mengkonfirmasi dugaan Dee, “ Ternyata, dari pembicaraan mereka aku mengetahui bahwa perempuan yang luar biasa keren dengan dandanan mahal itu terjebak hutang kartu kredit yang besar sekali dan tak lagi mampu melunasinya. Bahkan untuk membayar tagihan minimal tiap bulan saja dia sudah kesulitan dan sekarang sedang pusing karena dikejar- kejar debt collector…” Waduh, pikir Dee… Jadi, perempuan yang ditemui Pipit di lift itu berdandan keren dengan berhutang, dan tak mampu melunasinya pula? Ya ampuuunnnn, aneh- aneh saja !

** gambar diambil dari 20smoney.com **

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun