Menjelang petang KUTI sedang duduk di teras sambil mengetik. Hari ini dia tidak ke kantor. Pekerjaan Kuti memungkinkan dia melaksanakan tugas dari rumah. Berkat teknologi, dia bisa terhubung dengan siapa saja, termasuk dengan kantor. Di samping Kuti nampak Pradipta yang sedang merangkai mainan. Dia baru saja dibelikan mainan yang bisa dirangkai menjadi robot, mobil atau pesawat. Dia sekali-sekali menatap kertas petunjuk dan mengikuti dengan seksama. "Dipta... Dipta..." terdengar suara anak kecil. Ternyata Mark, tetangga sekaligus teman Pradipta. Mark terlihat menenteng kotak kardus kecil. "Dipta, kita main mobil-mobilan yuukkk," Mark berkata sambil tersenyum. Dengan hati-hati dia membuka kotaknya dan mengeluarkan sejumlah mobil-mobilan mungil namun cantik. "Mainan ini diberikan ibu kamu sebagai hadiah Natal," sambung Mark.
Dipta mengangguk. Dia tahu, tentu saja. Dia yang menemani ibunya membelikan hadiah Natal untuk Mark. Dipta juga yang memilih. Dia sengaja memilih mainan yang berbeda dengan yang dimilikinya. Dipta tahu, Mark pasti akan mengajaknya main. Dan pasti menyenangkan jika mainan milik Mark berbeda dengan yang dimilikinya. Kedua bocah itu segera tenggelam dalam permainan. Mereka bahkan mengkombinasikan mobil-mobilan mungil milik Mark dengan rangkaian yang sementara dikerjakan Dipta. Kuti menatap kedua bocah itu, dan tersenyum gembira. Diam-diam dia senang sekali dengan apa yang dilakukan istrinya, yang memberikan hadiah Natal untuk tetangga yang beragama Kristen. Ini bukan yang pertama kali tentu saja. Namun khusus tahun ini, Dee sengaja memberikan 'bonus' berupa mainan untuk Mark, dan boneka buatan tangan untuk kakak perempuan Mark, Priscila. Di tahun-tahun sebelumnya hadiah yang diberikan Dee ditujukan untuk orang tua Mark. Dee memperlihatkan dengan tepat apa yang dimaksud dengan toleransi beragama. Bahwa perbedaan keyakinan tidak menjadi alasan dalam sebuah hubungan persahabatan. Dan tentu saja wujud toleransi tak hanya pada hadiah Natal. Namun lebih dari itu. Sudah sejak lama, orang tua Mark selalu diundang ketika penghuni rumahkayu merayakan Idul Fitri. Keluarga rumahkayu juga selalu berkunjung saat Natal. Di kompleks perumahan, toleransi beragama sangat terasa. Perbedaan agama tidak menjadi sekat. Merupakan pemandangan yang sangat biasa melihat seorang gadis remaja yang mengenakan jilbab berjalan dan tertawa bersama remaja putri yang mengenakan kalung salib. Kakak tertua Mark, Matthew, berteman akrab dengan Ahmad, putra bungsu Kiay Umar, tokoh muslim berpengaruh di daerah itu. Orang tua Mark juga berhubungan baik dengan keluarga Kiay Umar. Ayah Mark, Eleazar, kerap berdiskusi dengan Kiay Umar, sama halnya yang biasa dilakukan Eleazar dengan Kuti. Mark dan Pradipta masih asyik bermain. Kadang mereka terdengar seperti berdebat. Namun beberapa saat kemudian keduanya tertawa cekikikan... Ah, pikir Kuti, kalau saja semua umat beragama di Indonesia hidup damai seperti Mark dan Pradipta... p.s. Buat D dan keluarga, terimakasih hadiah natalnya ya :) ;)
** gambar diambil dari: time4teensgim.like.pl **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H