Real men use three pedals.
PERNAH lihat tulisan semacam itu di mobil yang beredar di jalan?
Psy war -- entah serius, entah lucu- lucuan -- antara ( terutama, para lelaki ) pengguna mobil otomatis dan manual.
Real men use three pedals.
Classy men use two pedals.
Begitu 'perang' yang terjadi.
Yang membela mobil manual mengatakan, lelaki macho menggunakan mobil dengan tiga pedal ( termasuk pedal kopling ) sementara pengguna mobil otomatis mengatakan mobil dengan dua pedal tanpa kopling lebih keren. He he.
Setiap kali melihat sticker macam itu, aku tersenyum sendiri dalam hati.
Sebab, aku teringat ibuku.
Lho, ibuku?
Iya. Ibuku. Nenek dari anak- anakku.
Ibuku itu, sudah sejak dulu, sejak kami anak- anaknya masih kecil- kecil, bisa menyetir mobil. Almarhum ayahku yang berpikiran jauh ke depan mengajari ibuku mengendarai mobil, walau di tahun- tahun itu masih sangat jarang perempuan yang bisa menyetir mobil.
Keterampilan menyetir ini di kemudian hari sangat berguna. Dulu, kami empat bersaudara biasa diantar jemput oleh ibu ke sekolah. Ibu juga yang mengantar jemput kami ke tempat les, ke perpustakaan, ke... mana- mana ke tempat kami melakukan banyak kegiatan.
Ibu juga menjadi 'andalan' para ibu- ibu tetangga rumah di kompleks tempat kami tinggal. Jika ada kegiatan yang melibatkan ibu- ibu dilakukan di luar kompleks, bisa dipastikan ibuku akan menerima banyak permintaan dari para ibu lain untuk bisa menumpang mobilnya, sebab kebanyakan para ibu tetangga itu tak bisa menyetir mobil sendiri.
Kebisaan ibu menyetir juga berguna ketika di tahun- tahun belakangan, ayahku mulai menderita banyak penyakit yang tak lagi memungkinkannya menyetir mobil. Saat ayahku masih cukup sehat untuk bepergian walau tak lagi bisa menyetir, adakalanya ibu dan bapak berjalan- jalan berdua di sore hari, pergi sekedar mengunjungi warung soto langganan mereka. Juga pergi ke dokter atau apotik untuk membeli obat bagi ayahku. Ibu yang menyetir mobil, Bapak duduk di kursi penumpang sebelah kiri.
Dan...
Benar.
Mobil yang digunakan ibuku adalah mobil jenis manual berpedal tiga.
***
Itu tentang ibuku.
Lalu ini tentang putriku, anak sulung kami. Yang diterima di perguruan tinggi di kota dimana rumah orang tuaku berada ( yang berbeda dengan kota tempat kami tinggal ).
Saat si sulung mulai kuliah, usianya belum genap 17 tahun. Maka dia belum boleh mengendarai mobil. Jadi, saat itu, jika dia hendak ke kampus, ibuku yang senang sekali sebab cucu kesayangannya kini tinggal bersama ( dan juga bangga dan terharu sebab sang cucu diterima di perguruan tinggi yang sama dengan tempat sang kakek --ayahku -- kuliah dulu ) bersikeras mengantarkannya hingga gerbang kampus. Ibu yang menyetir mobil, tentu saja.
Mulanya, putriku malu dan sungkan diantar- antar seperti itu. Tapi kubujuk dia, kukatakan " Sudahlah, kalau bisa bikin yangti senang, kan nggak papa. "
Maka akhirnya putriku membiarkan dirinya diantar sang nenek.
Lalu putriku berulang tahun ke 17. Boleh memiliki SIM. Suamiku membongkar tabungannya, membelikan putriku sebuah mobil untuk digunakan sebagai alat transportasi. Yang dibelikannya adalah mobil berpedal dua.
Pada saat berdekatan, ayahku berpulang.
Lalu, berhentikah kegiatan ibuku menjadi 'supir' kesana kemari setelah ayahku berpulang dan putriku bisa mengendarai mobil sendiri?
Tidak, ternyata.
Sebab...
Believe it or not...
Suatu hari aku menelepon ke rumah ibu, kira- kira menjelang jam tujuh pagi. Tak ada keperluan khusus, sekedar menyapa saja. Hal yang memang biasa kulakukan. Dan di tengah percakapan itu ibuku berkata, " Sudah dulu ya D, ibu mau berangkat dulu. Mau antar (ibuku menyebutkan nama anakku)."
Oh. Antar kemana?
" Ke kampus, " kata ibuku.
Ke kampus?
Aku agak gagal paham. Kenapa anakku harus diantar ibu ke kampus? Memang kemana mobilnya sendiri?
Belakangan kutahu ceritanya. Putri kami itu ternyata sering malas membawa mobilnya ke kampus. Repot cari parkir, katanya. Maka mobil itu hanya digunakan sekali- sekali. Dia memilih untuk jalan kaki atau naik kendaraan umum saja saat hendak kuliah. Lebih praktis.
Ibu mengamati hal itu terjadi beberapa kali, lalu menawarkan pada putriku itu untuk mengantarkannya setiap pagi ke kampusnya.
Ibuku yang menyetir.
Ya ampun !
***
" Nggak apa- apa, D, " kata ibu ketika aku setengah heran setengah geli mendengar ceritanya ( plus, di belakang ibuku agak 'kuomeli' anakku -- gimana sih, koq malah dia yang disupiri oleh neneknya, mestinya kan sebaliknya ), " Ibu senang koq. Jadi sekalian pagi- pagi antar ke kampus, setelah itu bisa ke pasar terus kalau pas perlu bayar listrik atau air atau ke bank. "
Hmmm. Baiklah.
Kuterima alasan itu. Daripada ibuku lalu merasa kesepian dan tak ada kegiatan sepeninggal Bapak, jika memang ibu menikmatinya, ya sudah biar saja.
Kuceritakan hal itu pada suamiku. Suamiku juga tertawa, lalu setelah itu bicara pada ibuku. Dia mengatakan pada ibu jika anakku memang jarang menggunakan mobilnya sementara ibu malah masih sering menyetir kesana kemari, gunakan saja mobil anakku yang otomatis itu.
" Nyetirnya lebih enak, bu, " kata suamiku. " Ibu nanti nggak capek, nggak usah nginjak- nginjak kopling. "
Berhasil?
Tidak.
Apapun penjelasan suamiku yang mengatakan bahwa mobil berpedal dua akan memudahkan ibuku, ibu tak bergeming. Dengan teguh hati ibu mengatakan bahwa mobil manualnya yang berpedal tiga juga enak, nggak perlu pakai mobil otomatis.
Oalaaahhhh....
Ha ha ha.
Itu sebabnya aku selalu nyengir lebar melihat sticker bertuliskan "Real Men Use Three Pedals" itu. Sebab faktanya, a lovely grandma sebetulnya juga memiliki kekuatan setara a real man !
[caption id="attachment_327356" align="aligncenter" width="605" caption="Gambar: kaskus.co.id"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H