17 Agustus.
DAN aku tiba- tiba teringat pada almarhum Bapak mertuaku. Almarhum adalah seorang veteran pejuang 45. Yang menjelang berpulang, justru berpesan agar makamnya tak diberi bertanda apapun untuk menandai jasa- jasanya.
Ini yang membuatku terkesan.
Sekian tahun mengenalnya setelah aku menikah dengan anaknya -- suamiku -- aku memahami, darimana asal faham kesederhanaan dan kerendahhatian yang juga dianut oleh suamiku.
Dia mewarisi dari orang tuanya. Ibu dan Ayahnya.
Ayah mertuaku, termasuk orang yang 'dituakan' di lingkunganya. Selain veteran pejuang 45, juga pernah memangku beberapa jabatan yang oleh banyak orang di jaman itu bisa (dan akan) dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri. Dan ini tidak dilakukan oleh mertuaku. Beliau memilih jalan bersih dan lurus, yang dengan mudah bisa dilihat dari kehidupan sehari- hari keluarganya yang sederhana dan biasa- biasa saja.
Benar bahwa kedelapan anaknya semua berpendidikan tinggi. Tapi itu bukan semata karena materi, tapi karena visi jauh ke depan yang memang menganggap pendidikan itu penting. Maka dalam kesederhanaan, mereka mengupayakan agar anak- anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi.
Termasuk mengajarkan pada anak- anaknya untuk saling berbagi.
Beberapa kali kudengar cerita dalam keluarga, tentang bagaimana anak yang lebih tua yang sedang kuliah menyisihkan uang saku ( yang jumlahnya sebenarnya juga sudah terbatas ) untuk membelikan beberapa buah barang yang diperlukan ketika salah seorang adik akan mulai merantau, bersekolah di luar kota.
Begitu pula saat mereka mulai bekerja, mereka menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu biaya sekolah adik- adiknya, terutama karena saat anak- anak yang belakangan lahir mulai kuliah, Bapak mertua sudah memasuki masa pensiun.
[caption id="attachment_338438" align="aligncenter" width="523" caption="Google Doodle 17 Agustus 2014"][/caption]