Mohon tunggu...
Rumah Dongeng Kita
Rumah Dongeng Kita Mohon Tunggu... -

Silakan bermimpi karna tak pernah ada mimpi yang salah! Teruskan berharap karena tak pernah ada harapan yang kandas sebelum diupayakan! Lanjutkan berjalan karena di sanalah mimpi & harapan memiliki kesempatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi nyata! Show up ur imagination, start sharing & inspiring!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

THE WAY(ANG) OF MY LIFE

5 Agustus 2012   05:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:14 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1344143204747776432

wayang, wahai, wayang...

apakah engkau layang-layang?

tinggi mengangkasa,

tak teraih tangan,

jatuh ke tanah,

sekedar menyisakan

bayang...

Wayang di Sebuah Siang

Tanpa sengaja, hari ini saya berkesempatan mengunjungi Museum Bank Indonesia. Awalnya, saya saya hanya berencana untuk menikmati kota tua, tapi entah mengapa kaki saya justeru membawa saya melangkah mendekati suara gamelan dan tabuhan yang sedang mengiringi sebuah pagelaran wayang. Ini aneh! Sebab saya tak tahu wayang dan saya tak kenal wayang. Ya, saya pernah menonton wayang tapi itu pun sekedar untuk menjawab hasrat ingin tahu saya. Dan meskipun saya Jawa, wayang bukanlah sesuatu yang melekat pada diri saya...

Sekejap saya terdiam. Nun di depan saya sebuah panggung besar tengah menggelar satu pertunjukan. Saya tak tahu siapa dalang yang ada di sana dan saya pun seperti tak ingin mencari tahu. Saya masih berdiri di dekat pintu masuk sambil memegang katalog di tangan. Sesaat, saya sempat membolak-balik katalog tersebut tanpa memperhatikannya secara penuh. Saya hanya tahu jika dalang yang tampil di depan adalah dalang bocah karena ini memang Festival Dalang Bocah.

Di tengah keasingan yang menggeriap tanpa saya sadari di samping saya sudah berdiri seorang bapak tua. Bapak tua tersebut tersenyum dengan ramah, ia berkata jika saya boleh duduk di kursi yang telah disediakan panitia. “Gratis, mas...” Kata bapak tua itu. Bapak tua itu menunjukkan barisan kursi dengan jempol tangannya dengan posisi badan setengah merunduk. Untuk membalas keramahan bapak tua itu, dengan serta merta saya segera bergerak menuju arah yang ditunjuknya meskipun sebenarnya saya sudah berencana untuk melanjutkan perjalanan.

Entah apa yang terjadi, bapak tua itu berkata, ‘mari saya hantar’ dan saya pun hanya sanggup melongo dibuatnya. “Mas belum pernah melihat wayang ya?” suara bapak tua kembali terdengar di tengah perjalanan singkat kami menuju kursi yang ditunjukkannya. Saya hanya menjawab pertanyaan itu dengan senyum. Pastilah bapak tua itu paham, karena raut saya pasti tak bisa membohonginya. “Padahal anak-anak ini hebat loh... Mereka ini ibarat pemimpin orkestra, bahkan bagi saya lebih hebat dari itu... Bayangkan saja, dalang cilik ini sanggup membangun cerita dengan seluruh tubuhnya. Mulutnya bergerak menuturkan lakon, tangannya dipakai untuk menggerakkan wayang dan membuat sabetan, itu belum ditambah gedhogan yang dibuat dengan kaki. Itu semua kan perlu sinergi dan belum tentu semua orang sanggup membuat yang seperti itu... Wong saya saja yang sudah belajar bertahun-tahun tetep ndak bisa kok, eh, anak-anak ini malah ngalah-ngalahi saya...” Bapak tua itu terkekeh sejenak, demikianpun saya. “Silakan, mas... Saya tinggal dulu ya,” ujar sang bapak sambil kembali tersenyum ramah kepada saya. Sebelum saya sempat mengucapkan terimakasih, bapak tua itu telah berlalu dari hadapan saya.

Saya tak ingat lakon apa yang saya saksikan hari itu, atau siapa dalang yang sedang membawakan pertunjukan. Tapi saya lihat pengunjung yang hadir tampak menikmati pagelaran yang ada. Sesekali mereka tertawa terbahak dan ada kalanya mereka turut meneriakkan sesuatu. Tak terasa, saya mulai menikmati pertunjukan yang tak saya mengerti itu. Dan perlahan, kata-kata bapak tadi kembali terngiang di telinga saya. Hmmm, benar juga ya... Anak-anak ini memang hebat! Kalau saya, mana sanggup mulut, tangan dan kaki saya bergerak sekaligus... Bisa sih, tapi pasti berujung pada kekacauan :)

Meski pertunjukan wayang hari itu berlalu begitu saja, tapi tidak dengan kata-kata bapak tua. Kata-kata itu terus hidup dalam benak saya...

Little Krishna in Little Paradise

Pulang dalam keadaan lelah adalah hal biasa yang dialami warga Jakarta, demikianpun saya. Rumah menjadi ‘surga kecil’ yang menyenangkan bagi saya. Hari itu, rupanya beberapa keponakan saya tengah bertandang ke rumah. Sudah pasti rumah menjadi penuh dengan canda dan tawa. Entah bagaimana awalnya, tiba-tiba salah seorang keponakan saya menangis. Ia merengek untuk menonton dvd Little Krishna. Ya ampun, saya sendiri turut tertawa mendengarnya. Beruntung sang ibu sudah memperkirakan hal tersebut dan membawa beberapa dvd Little Krishna dalam tasnya. Tak lama, kami semua ‘terpaksa’ menyaksikan cerita tersebut.

Keponakan saya terus tertawa. Ia sangat menikmati cerita yang sudah berkali-kali ditontonnya itu. “Dia memang begitu, kalau dvdnya belum rusak, nggak bakal berhenti,” sang ibu menjelaskan. Saya terpekur, ingatan saya tiba-tiba kembali dengan ucapan bapak tua yang saya temui dalam festival dalang cilik beberapa waktu lalu.

Keponakan saya memang tidak menonton pertunjukan wayang secara langsung tapi paling tidak dia menyaksikan sebuah cerita yang berasal dari kisah wayang. Dan saya pikir kalau semua anak berkesempatan untuk mengenal wayang dengan berbagai cara, pasti masalah wayang yang semakin terpinggirkan dapat segera terselesaikan. Bukan menyederhanakan, tapi saya tidak melihat masalah ini sebagai masalah besar. Ini hanya masalah keinginan dan bagaimana kita berusaha untuk mewujudkannya.

Wayang punya banyak tokoh di dalamnya, wayang juga punya banyak kisah di dalamnya dan yang terpenting, wayang juga punya segudang nilai yang tak lekang oleh jaman. Ya, wayang terlalu kaya, sama sepertihalnya Indonesia! Yang diperlukan wayang hanyalah tangan-tangan yang siap mendedikasikan hidupnya. Yang diperlukan wayang hanyalah pengejawantahan dalam berbagai bentuk yang dapat dipahami dengan bahasa hari ini. Dan bentuk pengejawantahan itu pun sangat beragam, mulai dari komik, animasi, game, teater, sendratari, dan banyak lainnya. Toh, industri kreatif di negeri ini tengah bergeliat... Bukan hal yang sulit jika kita memang sudah memutuskan untuk bahu membahu. Bayangkan, andai kata wayang dapat bicara dengan bahasa Little Krishna atau Upin-Ipin, bukankah itu menyenangkan? Generasi baru wayang pasti akan bangkit dengan sendirinya. Dan generasi yang dapat memilah baik dan buruk juga akan terbangun dengan sendirinya.

Saya tahu kerja ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi saya juga paham jika kita hanya diam, maka melihat telapak tangan sendiripun kita tak akan pernah saggup. Dyah Hanum, salah satu tokoh dalam film Republik Twitter, pernah mengatakan, “bermimpi itu biasa. Yang luar biasa adalah bekerja untuk mewujudkan mimpi.”

Saya memang seorang Jawa, seorang Jawa yang tak memahami wayang dan bahasanya, tapi saya tak sendiri. Bersama saya ada puluhan juta generasi Indonesia yang tak memahami wayang. Seurban apapun saya dan kawan-kawan satu generasi saya, tapi toh kami tak pernah dapat memungkiri jika kami dibesarkan dalam tradisi yang kaya, tradisi yang megah dan luar biasa, tradisi Nusantara, dan wayang adalah salah satunya. Seluruh tradisi itu kaya nilai dan mengapa kita tak dapat hidup dengan nilai-nilai itu?

Saya hanya berharap jika wayang tak sekedar menjadi layang-layang yang lagi-lagi jatuh dan hanya menyisakan bayangan tak bernama...

wayang, wahai, wayang...

jangan terus menjadi layang-layang

yang tinggi mengangkasa,

tak teraih tangan,

hanya indah di jauh mata

yang memandang...

wayang, wahai, wayang...

tak apa bila kau ingin terus

menjadi layang-layang...

tapi beri aku bulu,

agar kepak sayap mengembang,

agar aku tak sekedar memandang,

indahmu pada luas cakrawala membentang...

wayang, wahai, wayang...

ijinkan aku bercengkrama denganmu,

dengan riang yang bukan bayang-bayang...

:: sebuah catatan harian Suksmo D. Astantyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun