Apa yang bisa diturunkan dari sebuah kata : film ? Apakah hanya mengakomodasi makna : medium, komunikasi, pendidikan, hiburan dan informasi ? Ternyata tidak sesederhana ini. Jujur, relasi film dan politik itu ada faktanya. Apakah kita pernah menyadari serangkaian fakta gugatan bahwa pada kenyataannya film itu juga alat propaganda. Kenapa ? Lantaran film lahir dari sebuah konteks sosio kultur politik masyarakat yang melahirkannya.Â
"Film itu datangnya belakangan, namun cerita ada terlebih dahulu". Ini ungkapan menarik yang sempat dilontarkan oleh Elizabeth Chai, seorang sutradara perempuan yang karyanya "Free Solo"Â baru saja memenangkan Oscar untuk kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik. Ada fakta, peristristiwa, imajinasi, kemudian dituangkan dalam karya film. Tetapi formulanya bukan hanya itu saja, dalam film itu ada begitu banyak kepentingan. Kooptasi kepentingan kapital yang mendominasi, hingga kepentingan politik yang tiada pernah berakhir.Â
Sejarah film adalah fakta ketika eksistensialisme mengemuka dan termediumkan. Demikian kalau mau meminjam Freud-ism untuk menurunkan apa itu relasi psikis dalam film. Temuan Lumierre bersaudara tidak saja mengajakan publik pada sebuah fakta ketubuhan media, media adalah tubuh kita ketika setiap individu mampu menampilkan dirinya dalam media. Misalnya : ketubuhan medium yang tak terbantahkan dalam penggunaan telepon pintar.Â
Era perang dunia, film menjadi satu alat paling cerdas sekaligus picik, untuk melakukan psi-war ataupun diplomasi. Ingat, bahwa Hitler, Mussollini ataupun Sekutu pernah menggunakan film sebagai medium untuk menghancurkan psikologis musuh musuhnya. Film tidak saja menjadi alat untuk menghancurkan lawan, namun juga menjadi alat diplomasi untuk membangun kekuatan baru.Karya karya film dokumenter era perang dunia kala itu, Â dengan mudah direlasikan dengan fungsi film sebagai alat propaganda. Pada perspektif itu, sekali lagi, publik tersadarkan betapa kuatnya medium : film.
Pasca Perang Dunia, film tetap saja melakukan bulan madu dengan kepentingan politik. Artinya, film sebagai medium propaganda-pun, masih berjalan. Maaf, ini bukan persoalan salah dan benar, ketika film dan propaganda itu berjodoh. Tetapi lebih pada aspek, status quo akan mempunyai kekuasaan absolut untuk menguasai media. Tahta, kuasa dan media, inilah kerajaan baru yang memang sulit untuk dilengserkan.
Apakah bangsa ini tidak pernah jatuh dalam relasi pelik, ketika film adalah alat propaganda ? Jangan menutup mata. Pemerintahan Sukarno, pernah melakukannya, juga Suharto dan para penerusnya. Tetapi yang patut untuk diwaspadai adalah telah terjadi pelembutan kata, efuemistik pada kata propaganda, film sebagai propaganda. Efeumism, yang tetap saja melahirkan ironi pada makna nya yang tak pernah bergeser. Itu terjadi tidak saja pada karya karya film dokumenter, juga terjadi pada karya karya film fiksi.Â
Tentu kita tidak pernah sadar, dalam film dokumenter ataupun karya industri dari Bollywood, Hollywood, ataupun Hongkong (juga Indonesia) tak akan pernah lepas dari kepentingan yang mengkooptasinya. Kepentingan macam apakah ? Tentu ada banyak hal. Film itu alat, dan masyarakat adalah targetnya, untuk siap di-per-alat.Â
Memper-alat itu adalah kerja kreatif. Kerja imajinasi, para kreator dibalik film. Maka, ketika film dan propaganda itu berjodoh kita tak akan dapat menceraikannya. Yang sudah dipersatukan oleh kekuasaan, tidak akan pernah dicerai-kan oleh manusia. Nah, film dan propaganda adalah perjodohan abadi.Â
(Tonny Trimarsanto, sutradara di rumahdokumenter.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H