Ini kasus klasik yang tak lekang oleh jaman berkaitan dengan ritme sekolah formal yang menimpa cukup banyak anak usia sekolah di dunia. Adapun faktor pemicu tumbuhnya rasa ‘malas’ yang pada banyak kasus akhirnya jadi ‘mogok’ bersekolah itu ternyata banyak sekali ragamnya.
Faktor-faktor itu antara lain berupa kurangnya pemahaman anak secara kongkrit tentang tujuan bersekolah yang dikaitkan dengan kebaikan-kebaikan di masa depan yang sifatnya abstrak, tidak memiliki zona belajar yang nyaman baik di rumah maupun di sekolah, kelewat banyak belajar (sesudah hampir seharian berkutat dengan pelajaran masih harus disambung berbagai les sepulang sekolah), dan kurangnya kasih sayang orangtua yang menyebabkan anak harus membangun mekanisme cari perhatian melalui beberapa kebiasaan buruk (berkelahi, mengganggu teman, membuat kerusuhan, dan sejenisnya) yang menyebabkan guru harus memanggil orangtua untuk memberikan teguran/nasihat yang akhirnya didefinisikan anak sebagai bentuk ‘kasih sayang/perhatian’.
Selanjutnya ada pula faktor hambatan internal berupa terbangunnya persepsi di bawah sadar yang keliru dalam diri anak terhadap sistem pendidikan formal/ penguasaan pelajaran tertentu yang membuatnya ‘gagal’ beradaptasi/menyelesaikan tugas maupun ujian-ujiannya. Ketidakmampuan membuat strategi belajar juga membuat anak terjebak dengan hasil-hasil buruk pada tugas/ujiannya hingga membuatnya frustrasi, begitu pula naluri untuk mendahulukan kesenangan yang gampang diraih ketimbang ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian’ memang perlu dikendalikan secara sistematis melalui upaya edukasi kedisiplinan.
Pada saat orangtua sudah mampu mencari akar permasalahan penyebab ‘mogok bersekolah’ anak dan mampu memotivasi anak dengan tepat hingga dia mampu mengatasi rasa malasnya dan bersedia kembali menjalani rutinitas bersekolah dengan segenap aturannya yang diberlakukan secara sergam pada semua murid, maka edukasi akademis yang bertumpu pada sekolah formal bisa kembali menjadi pilihan. Namun pada kasus-kasus dengan kadar ekstrim, semisal atraksi ‘cari perhatian’ anak sudah sedemikian mengganggu para peserta didik lainnya hingga pihak sekolah terpaksa mengeluarkannya atau ketidak-mampuan beradaptasi anak ternyata diperparah dengan adanya perisakan (bullying) yang tak mampu lagi dihadapi, atau anak punya orientasi belajar yang betul-betul tidak klop dengan ritme sekolah formal karena ingin fokus pada pengembangan bakatnya; maka orangtua harus membuka pikiran dan hati untuk mencari alternatif lain.
Homeschooling,pendidikan akademik yang dilakukan di rumah dengan orangtua/keluarga/tutor sebagai pembimbing utama, biasanya dijadikan alternatif favorit; namun seringkali bukan merupakan pilihan terbaik mengingat tidak semua orangtua mampu menjadikan dirinya sebagai pembimbing belajar anak karena agenda kerja yang padat atau kualifikasi mendidik (aktifitas belajar mandiri, kesabaran, kedisiplinan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan mendidik anak, -pen.) yang belum memadai.
Ada sebuah pilihan lain yang mungkin layak untuk dipertimbangkan dalam mengatasi gejala ‘mogok sekolah’ anak, yakni sistem Semi Homeschooling (SHS) yang memadukan kegiatan belajar-mengajar di rumah peserta didik dengan mendatangkan tutor ke rumah dan kelas komunitas dimana anak-anak yang memang sudah dinilai ‘siap’ secara psikologis dapat belajar bersama teman-teman sebayanya. Homeschooling Persada, Jatibening Baru, Bekasi; yang bernaung di bawah asuhan Tim Guru PKBM ‘Tamansari Persada’ adalah salah satu lembaga pendidikan informal yang telah menerapkan SHS bagi para peserta didiknya dari jenjang SD-SMA.
Mereka melaksanakan proses pembelajaran dengan Sistem Semi Homeschooling yang memadukan metode kegiatan belajar-mengajar (KBM) tatap muka siswa dengan guru / tutor sebanyak 3 kali per minggu dan kegiatan belajar di rumah dalam pemantauan orangtua/wali. Bagi para peserta didik yang memerlukan masa transisi sebelum dapat belajar bersama teman-teman di kelas komunitas, Homeschooling Persada memfasilitasi kegiatan belajar di rumah dengan mengirimkan tutor sesuai kebutuhan anak sampai terbangun kesiapan untuk melakukan aktifitas kelompok. Pemantauan kesiapan interaksi sosial anak pun terus dilakukan begitu anak pertama kali hadir ke kampus.
“Ada siswa yang butuh waktu berbulan-bulan sebelum dia berani turun dari kendaraan pengantar dan masuk ke gedung kampus.”Papar Wina Yunitasari, SPd., “Ada pula yang masuk kelas namun memilih duduk menyendiri di pojokan atau malah kelewat aktif dalam berinteraksi hingga mengusik teman-temannya. Itu semua menjadi tanggung jawab para guru untuk melakukan pendampingan secara menyeluruh, termasuk bersinergi seoptimal mungkin dengan orangtua, agar anak mampu secara mandiri menumbuhkan rasa percaya diri hingga memiliki keberanian untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya serta merasa nyaman melakukannya, termasuk saat belajar bersama.”
Kenyamanan itulah sebenarnya yang menjadi tantangan bagi orangtua dan guru untuk dihadirkan dalam aktifitas belajar mengajar bersama anak dimana saja dan kapan saja hingga bukan hanya kecerdasan intelektualnya saja yang dibangun; namun juga kecerdasan religius, emosional, dan sosialnya agar kelak dia bisa bertumbuh sebagai individu mandiri yang berbahagia.
Referensi
- www.salamedukasi.com/2013/12/faktor-penyebab-alasan-anak-siswa-malas.html
- http://www.rumahbelajar-persada.com/homeschooling/