[caption caption="Jelajah Homeschoolers di area perkebunan teh nan menghijau ... (dok RBP)"][/caption]Gerimis pagi yang berangsur deras menemani perjalanan para homeschooler jenjang SMA Homeschooling Kak Seto (HSKS) Jatibening bersama para pembimbing mereka dari Tim Guru PKBM ‘Tamansari Persada’ pada Selasa (2/2) lalu. Toh hawa dingin di dalam bis tak menyurutkan celoteh ramai mereka, terutama yang memilih duduk di deretan paling belakang, sepanjang lintasan yang ditempuh, apalagi setelah sandwich telur yang dibuat dengan penuh kasih sayang oleh guru-guru mereka bersarang nyaman ke dalam perut.
Kabut tebal ditambah kondisi lalulintas ramai dan topografi medan yang turun-naik membuat pengemudi mereka harus ekstra hati-hati menjalankan kendaraan besar yang mengangkut 50 anggota rombongan menuju Perkebunan Teh Maleber PT Tenggara di kawasan Kampung Maleber, Desa Ciherang, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Sekitar pukul setengah sebelas pagi, rombongan HSKS Jatibening akhirnya tiba di perkebunan milik pengusaha terkemuka Arifin Panigoro itu. Selimut kabut dan rintik tipis hujan menyambut mereka yang segera diarahkan ke area pendopo untuk bersiap-siap memenuhi agenda Jelajah Homeschoolers kali ini.
Payung dan jas hujan pun disiapkan untuk mencegah jangan sampai para homeschoolers basah kuyup bila hujan mendadak lebat saat beraktifitas. Rombongan pun dibagi ke dalam tiga kelompok berdasarkan kelas dan jurusan yang kesemuanya memiliki menu kegiatan yang sama, yaitu melakukan pengamatan terhadap proses pemetikan, pembibitan, dan pemeliharaan teh lalu ditutup dengan kunjungan ke pabrik untuk mengamati proses produksinya.
[caption caption="Sandwich kasih sayang menghantar perjalanan para homeschooler (dok RBP)"]
Perkebunan yang berdiri pada tahun 1817 di era kolonialisme Belanda ini masih mempertahankan mesin-mesin jadul plus metode pengolahan teh gaya tempo doeloe sesuai dengan idealisme pemiliknya yang berharap para pengunjung , khususnya generasi muda, bisa memperoleh pengetahuan seputar sejarah pengolahan teh di Indonesia tercinta ini. Tapi soal kualitas produk, teh putih maupun teh merah, yang dihasilkan oleh perkebunan ini sama sekali tak kalah dari perkebunan teh modern. Banyak perusahaan yang menghasilkan minuman teh dalam kemasan mengambil bahan baku utamanya dari Perkebunan Maleber.
Para homeschooler berbekal lembar kerja siswa dan, beberapa di antara mereka membawa, kamera pun mulai menapakkan langkah menjelajah area perkebunan didampingi guru pembimbing kelompok masing-masing serta dipandu para bapak Satpam yang ramah. Di sana mereka berkenalan dengan alat yang bernama ani-ani, alat potong yang digunakan para ibu pemetik teh untuk memanen pucuk-pucuk teh. Namun para homeschooler memetik daun teh menggunakan tangan saja karena, menurut pemandu, dikuatirkan terluka bila memakai ani-ani.
Para homeschooler pun belajar menanam bibit teh, menggali informasi seputar pemeliharaan tanaman penghasil minuman segar nan menyehatkan sejak dahulu kala itu, dan bertandang ke pabrik yang mesin-mesinnya beneran jadul banget namun masih berfungsi lumayan optimal karena perawatan teknis yang baik. Hal lain yang sangat menarik di situ adalah keberadaan para opa dan oma yang sibuk berkarya sesuai ketrampilannya masing-masing dari mulai memetik pucuk sampai ke area pabrik.
[caption caption="Peralatan kuno memberi peluang melanjutkan karya bagi para lansia (dok RBP)"]
“Banyak karyawan di sini yang telah bekerja di perkebunan sejak masih gadis atau bujang dan saat mencapai usia pensiun, meski ditawari pesangon dari tabungan Jamsostek, merasa kuatir tentang bagaimana membiayai kehidupan sehari-hari mereka,” Papar Staf Perkebunan Maleber, Didin Priyatna, dalam perbincangan singkat di lokasi,”Akhirnya pengelola Maleber membuat kebijaksanaan, para karyawan lansia itu tetap diijinkan bekerja sesuai batas kemampuan masing-masing namun tetap mendapat bayaran yang sama sekitar Rp. 500 ribu sebulan untuk beli beras dan sebagainyalah.”
Bahkan bagi para lansia yang sakit atau betul-betul tak mampu datang lagi karena sudah sangat uzur, manajemen tetap memberikan tunjangan senilai Rp.250 ribu per bulan,”Iuran Jamsostek yang lumrahnya dipotong dari pendapatan pun tidak berlaku di sini.”Tambah Didin,”Perusahaan yang membayari iuran bulanannya dan Jamsostek itu sesuai permintaan mereka akan dicairkan saat mereka meninggal untuk keperluan pemakaman dan lainnya, maklum kebanyakan anak-anak mereka pun tergolong kalangan kurang mampu.”
Kebijakan itu, menurut Didin, diusulkan dari manajemen setempat dan disetujui oleh manajemen pusat,”Pak Arifin mengeluarkan subsidi sekitar Rp 1,2 M setiap tahunnya untuk mendukung biaya operasional di sini.”