Mohon tunggu...
Rumah Belajar Persada
Rumah Belajar Persada Mohon Tunggu... -

Pokoknya dimana saja,kapan saja, dan bersama siapa saja; belajar itu sebaiknya jalan terus.... We Can Do It !\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Funky-nya Kehidupan di Kampung…

26 Oktober 2015   19:23 Diperbarui: 26 Oktober 2015   19:54 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Mencicipi aneka rasa alamiah (dok RBP)"][/caption]Anak-anak yang lahir dan bertumbuh di perkotaan dengan segala hiruk-pikuk dinamika perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat ditambah faktor kesibukan para orangtua dengan aktifitas profesionalnya masing-masing telah terkondisikan sedemikian rupa untuk mengakrabi aneka gadget sejak usia dini. Aktifitas motorik yang didominasi gerak jari jemari bermain di atas keyboard ponsel pintar, komputer, dan segala perangkat sejenis itu sebenarnya berpotensi mengerucutkan wawasan pemikiran mereka sebatas dunia keseharian yang terpampang di layar gadget.

Padahal sebagai generasi pewaris masa depan keluarga dan bangsa, mereka dituntut memiliki pemikiran yang meski melangit di tataran global namun tetap membumi berpijak pada realita sosial di negeri sendiri yang akan menjadi habitat, kemungkinan besar, seumur hidup sampai ke hembusan napas terakhir kelak.

Outing ke Kampung Naga yang terletak di kawasan Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat; yang dilakoni para homeschooler jenjang SMA Homeschooling Kak Seto (HSKS) Jatibening pada 29-30 September 2015 lalu juga memiliki misi yang serupa. Para guru mendampingi anak-anak didik mereka menyaksikan dan mencicipi denyut kehidupan masyarakat Kampung Naga yang sangat jauh dari predikat high-tech. Ketaatan pada pedoman hidup yang diwariskan oleh para nenek moyang mereka selama berdekade-dekade memang membuat warna keseharian penduduk kampung itu terkesan sangat bersahaja. Namun kesederhanaan itu bukannya sesuatu yang bisa dianggap remeh.

Para homeschooler bisa bermain leluasa dalam kesejukan aliran Sungai Ciwulan tanpa kuatir kulit bakal gatal-gatal apalagi sampai korengan karena tak ada limbah beracun yang mencemari airnya, mereka takkan mungkin bisa melakukan hal sama di Sungai Ciliwung, misalnya. Saat lapar, mereka bisa menyantap lahap sajian sederhana para pemilik rumah yang umumnya merupakan hasil olahan dari produk pertanian maupun peternakan sendiri yang dikelola menggunakan metode budidaya organik. Tak perlu kuatir dengan kandungan lemak berlebihan maupun zat pengawet seperti yang terkandung dalam produk junkfood  favorit mereka.

[caption caption="Merasakan sesuatu yang berbeda ... (dok RBP)"]

[/caption]

Anak-anak kota,  yang sudah terbiasa dengan malam terang-benderang lampu dan hingar-bingar alat hiburan elektronik, bisa sejenak mencicipi keredupan petromak dan ketenangan indra pendengaran di kawasan yang masyarakatnya masih teguh menolak kehadiran listrik di kampung halaman mereka itu. Hiburan mereka terjalin dalam percakapan kekeluargaan antar tetangga yang rumah-rumahnya sesuai patokan tradisi diatur berdekatan dengan desain serupa atau saat para ibu bercanda-ria sambil menumbuk padi dengan alu – lisung  di pondok  dekat sungai. Ada pula seruling bambu dan karinding yang biasa ditiup para lelaki menghadirkan alunan nada yang menyatu serasi dengan aneka suara khas perkampungan di sana.

Kegelapan malam plus medan berbukit-bukit yang terhubung antar ketinggian dengan bantuan jenjang-jenjang tangga batu kali yang ditumpuk sedemikian rupa di tanah memang menuntut perjuangan sendiri saat para homeschooler terkena serangan ‘panggilan alam’ jelang tidur atau saat terjaga tengah malam hingga mau tak mau mereka harus membangunkan teman atau guru pembimbing untuk menemani menyibak hitamnya malam  dengan bantuan senter plus kehati-hatian ekstra melangkah memburu area jamban umum yang memang dibangun lumayan jauh dari area pemukiman penduduk.

Mereka bahkan berani minum air mentah langsung dari pancuran bambu yang mengalirkannya tanpa takut sakit perut karena para pemuka Kampung Naga menjamin higienitasnya yang sudah teruji berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan Belanda yang sengaja datang melakukan riset di sana. Banyak di antara mereka yang seumur hidup baru sekali itu menyaksikan tanaman nanas atau tebu yang batangnya manis segar saat dikunyah.

Semua ‘penemuan’ mereka dokumentasikan dalam bentuk foto maupun isian lembar kerja siswa yang nantinya akan menjadi bahan presentasi akademik. Pembagian Outing Awards untuk kategori Siswa Teraktif dan Siswa Terkooperatif menjadi puncak kegiatan outing HSKS Jatibening kali ini. Selanjutnya rombongan homeschooler bersama para guru mereka pun memacu semangat dan kesabaran untuk mendaki 439 jenjang anak tangga yang akan menghantar mereka ke pelataran parkir gerbang Kampung Naga nun di ketinggian sana dan kemudian masuk ke dalam bis yang akan membawa mereka pulang ke Kampus Rumah Belajar Persada di Jatibening, Bekasi. Kesan mendalam bukan hanya membekas di hati namun, pastinya, juga di otot-otot tubuh mereka.

[caption caption="Mari menjadi yang terbaik dari diri sendiri ... (dok RBP)"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun