Mohon tunggu...
Rumah Belajar Persada
Rumah Belajar Persada Mohon Tunggu... -

Pokoknya dimana saja,kapan saja, dan bersama siapa saja; belajar itu sebaiknya jalan terus.... We Can Do It !\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

(Kesiangan) Berburu Matahari Terbit Di Dieng …

4 November 2014   19:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:42 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu keberangkatan pada hari H (29/10) sore sudah pas dengan rencana dan para kakak guru Homeschooling Kak Seto (HSKS) Jatibening optimis bisa mengantar homeschoolers jenjang SMA dari semua kelas untuk menyambut terbitnya Sang Surya di dataran tinggi Dieng yang berada sekitar 3 jam perjalanan dari Yogya atau 25-30 km dari Wonosobo. Begitulah dinihari (30/10) sekitar pukul 02.30 Wib, dua buah bis yang mengangkut rombongan HSKS Jatibening tiba di halaman Mesjid  Agung Jami Wonosobo, Jawa Tengah.  Rencananya seusai shalat Subuh, mereka akan berpindah ke bis-bis pariwisata berukuran kecil dan menggapai Dieng untuk ‘menangkap’ awal perjalanan matahari merayap naik ke cakrawala di ufuk Timur.

[caption id="attachment_332939" align="aligncenter" width="614" caption="Sisa-sisa matahari terbit (dok RBP)"][/caption]

Maksud hati menyambut rekahan awal fajar , namun apa daya pasar-pasar  sayuran  sepanjang jalan menuju dataran tinggi plus jubelan pedagang-pembelinya dan deretan mobil-mobil lain yang sudah duluan merayap di sepanjang lintasan menghambat kecepatan konvoi tiga bis para homeschoolers itu hingga mereka baru tiba di Dieng saat mentari sudah lumayan tinggi di langit. Kabut tebal dan udara dingin yang masih menggigit tak lantas membuat para homeschoolers bisa santai berpangku tangan. Ada buku panduan outing yang harus diisi dengan data dan puisi. Maka bait-bait tentang keindahan gunung pun bersanding dengan catatan geografis Dieng plus serba-serbi tanaman palawija, seperti kentang berbagai jenis, yang dibudidayakan di lahan yang terkenal subur dengan iklim yang sangat kondusif untuk pertanian itu.

Selanjutnya rombongan berpindah ke sisi lain kawasan wisata Dieng yang merupakan bagian dari Kabupaten Banjarnegara. Ada sauto ayam yang segar nikmat menghangatkan perut sebelum mereka mengikuti pemandu menuju ke kawasan sejarah arkeologi tempat berdirinya kompleks candi yang diberi nama serupa tokoh-tokoh pewayangan Pandawa Lima beserta para punakawannya. Candi-candi itu ditemukan pada awalnya dalam kondisi terendam air rawa oleh tentara Inggris bernama Van Kinsbergen pada tahun 1814 dan proses pengeringannya memakan waktu sekitar 40 tahun.

[caption id="attachment_332941" align="aligncenter" width="614" caption="Perpaduan panorama alam dan warisan sejarah nan eksotis (dok RBP)"]

1415077349802302347
1415077349802302347
[/caption]

Candi utamanya adalah Candi Arjuna, yang berhadapan dengan candi berbentuk memanjang dengan atap limasan yang sering disebut sebagai Candi Semar. Di sebelah kirinya berdiri berjajar Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Candi Puntadewa memiliki bentuk yang hampir mirip dengan Candi Arjuna, sementara Candi Srikandi dan Candi Sembadra sedikit lebih kecil dan pendek. Berdasarkan cerita penduduk sekitar, Candi Puntadewa berada di tengah-tengah Srikandi dan Sembadra sebagai penengah bagi kedua kakak beradik yang sama-sama menjadi istri dari Arjuna tersebut. Saat rombongan HSKS Jatibening menyambangi kompleks candi  Hindu itu, Candi Puntadewa tengah mengalami pemugaran.

Matahari telah beringsut kian tinggi dan peluh pun mulai bercucuran deras memicu sensasi haus plus lapar. Di pelataran parkir, kentang goreng panas berlumur saus mayones dan berbagai tepung perasa laris diserbu pembeli selain minuman botolan serta toilet. Yupz, meski sudah terasa gerah, suhu udara Dieng masih tergolong dingin membuat banyak homeschoolers kebelet pipis…

Sejenak melanjut perjalanan dengan bis sebelum berhenti di usaha rumahan  tempat pembuatan manisan buah carica (baca : karika). Buah papaya gunung (Carica pubescens) yang berukuran rata-rata sebesar kepalan tangan orang dewasa ini rasanya asam sekali, dan setelah dikuliti, daging buahnya dicuci, direbus, lalu dimasukkan ke dalam larutan gula pekat. Sesudah dingin campuran itu dimasukkan ke dalam kemasan toples-toples kaca kecil atau wadah-wadah plastik kecil dan rasanya manis segar, sangat cocok dinikmati saat  hari tengah panas-panasnya.  Kunjungan  diakhiri dengan acara belanja manisan carica maupun produk-produk khas setempat lainnya di bagian depan rumah yang difungsikan sebagai toko. (Bersambung)

[caption id="attachment_332942" align="aligncenter" width="491" caption="Dieng Maknyuss Session...yummmmy ! (dok RBP)"]

14150775851184504141
14150775851184504141
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun