Mohon tunggu...
Yadi Mulyadi
Yadi Mulyadi Mohon Tunggu... Dosen - Arkeolog

Arkeolog dari Bandung tinggal di Makassar dan mengajar di Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tentang Londa, Tallu Lolona, dan Cagar Budaya Toraja

6 Maret 2019   14:48 Diperbarui: 6 Maret 2019   15:18 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penamaan Londa merujuk pada nama bukit atau buntu dalam bahasa Toraja. Di bagian tebing dan beberapa lorong gua di bukit inilah, masyarakat Toraja khususnya dari wilayah adat Tadongkon memanfaatkannya sebagai areal penguburan sejak abad 17 Masehi sampai sekarang. Dengan demikian Londa merefleksikan nilai penting sejarah peradaban masyarakat Toraja, khususnya terkait ritus dan tradisi penguburan yang khas dan unik. Tradisi penguburan merupakan salah satu hal penting dalam kajian kesejarahan peradaban manusia, karena berhubungan dengan salah satu siklus penting yaitu kematian.

Londa sebagai areal penguburan yang merupakan salah satu komponen pemukiman tradisional Toraja-dalam hal ini di Wilayah Adat Tadongkon-memiliki nilai penting sejarah yang terkait dengan sejarah sistem budaya Toraja, sehingga harus dilestarikan. Selain itu, tinggalan artefaktual yang terdapat di areal penguburan Londa yang oleh masyarakat Toraja disebut juga nama Tongkonan Tangmerambu (tongkonan tak berasap) juga merefleksikan sejarah perkembangan teknologi khususnya terkait wadah kubur kayu dan beragam jenis bekal kubur.

Budaya penguburan dengan menggunakan peti kayu sebagai wadah kubur yang diletakkan di tebing batu (hangnging coffin) seprti budaya erong di Tana Toraja, sudah dikenal di Cina Selatan sekitar 1000 SM, Thailand dan Vietnam sekitar 100 SM, Filipina sekitar awal masehi, Sabah sekitar 800 M dan Toraja 800 M. Nampaknya bahwa budaya erong di Tana Toraja dibawah oleh migrasi yang berasal dari Cina Selatan ke beberapa daerah di kawasan Asia Tenggara dan berasimilasi dengan masyarakat pendukung budaya Austronesia yang sudah ada pada masa yang lebih awal (Duli, 2012).

Cagar budaya Londa juga memiliki nilai penting sejarah terkait dengan adanya peristiwa kunjungan tokoh penting yaitu Presiden Indonesia ke situs ini. Adapun presiden yang pernah berkunjung ke Londa yaitu Presiden  Soeharto dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Akhir bulan Maret 1977, Presiden Soeharto beserta istri, berkunjung di Sulsel dengan sejumlah Menteri di kabinetnya saat itu yakni Menteri Pertambangan Mohammad Sadli, Menteri M Jusuf, Menteri Thojib Hadiwidjaja, Menteri Sudharmono SH dan beserta para istri para Menteri, dan Pangkowilhan II. Dalam rangka kunjungannya ke Sulawesi Selatan inilah, beliau dan rombongan berkunjung ke Toraja untuk menerima penghargaan Gelar adat tertinggi dari Toraja yaitu "Kambulu Katayungana Matariallo Taddunga Malelena Sang Toraya" yang memiliki arti sang Pemimpin, Pembimbingan, dan Pelindung rakyat bumi dan adat Tana Toraja. Di sela kunjungan di Toraja itulah Presiden Suharto beserta rombongan menyempatkan berkunjung ke Londa.

Adapun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama beberapa menteri Kabinet Indonesia Bersatu II mengunjungi Londa pada Jumat pagi, 21 Februari 2014. Kedatangan Presiden dan Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono ke Londa ditemani antara lain oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto serta Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa. Selain itu, Presiden juga ditemani Menteri Sekretaris Negara Dipo Alam, Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan, Menteri Perhubungan E.E. Mangindaan, dan Kepala BIN Marciano Norman. Kedatangan presiden dan para pejabat negara tersebut, menjadikan Londa sebagai objek wisata bersejarah yang membedakan dengan objek lain di Toraja Utara.

Cagar Budaya Londa telah menarik banyak orang datang berkunjung baik sebagai wisatawan ataupun peneliti. Hal ini terkait dengan nilai pendidikan yang terefleksikan pada cagar budaya Londa. Adapun nilai pendidikan tersebut terkait dengan nilai dan norma budaya yang melatarbelakangi tradisi penguburan di Londa. Dibalik tradisi dan ritual penguburan di Londa ini mengandung nilai pendidikan mengenai penghormatan pada leluhur. Keberadaan tinggalan budaya tangible berupa erong dan bekal kubur di Londa ini merefleksikan nilai pendidikan terkait dengan kerjasama, kebersamaan dan ketekunan.

Nilai pendidikan budaya Toraja ini bergerak pada nilai kesatuan dalam kaitannya dengan latar belakang per-saudara-an seperti yang tampak dalam norma-norma kasiuluran (persaudaraan), kasipulungan (berkumpul jadi satu), kasiangkaran (saling menunjang), kasiturusan (mufakat), kasialamasean (saling mengasihi), kasianggaran (saling menghargai), kasikalammaran (saling menghormati). Nilai-nilai pendidikan ini merupakan nilai positif yang perlu senantiasa diwariskan dari satu generasi ke generasi.

Situs Cagar Budaya Londa dengan tingalan yang terkait tradisi penguburan ini merupakan perwujudan dari nilai-nilai  budaya tersebut yang bersandar pada falsafah budaya Toraja yaitu Tallu Lolona. Dalam falsafah Tallu Lolona ini manusia diminta tidak tunduk pada alam, tetapi berlaku solider terhadap alam, dengan demikian terbangun hubungan harmonis. Akal dan kebebasan manusia bukan lagi bebas lingkungan tapi bebas menjaga lingkungan. Terdapat hubungan kewajiban antara keduanya. Alam wajib menghidupi manusia dan manusia wajib melestarikan alam. Pola ini tidak lagi menekankan prosedur logis tapi prosedur dialektis. Kemiskinan alam akan berhubungan dengan keserakahan manusia, kekayaan dan kelestarian alam berhubungan dengan tanggung jawab dan kesadaan ekologis manusia. Logika dan etika menjadi satu. Pandangan holisitik inilah yang diterjemahkan ke dalam sistem nilai persaudaran dan kesatuan yang kemudian (diharapkan) berpengaruh kedalam perilaku manusia Toraja dalam membangun sistim arah, pemukiman, sistem tutur, sistem politik, sistem ritual dan interaksi sosial keseharian.

Dalam konteks sistem pemukiman Toraja, Londa sebagai areal penguburan merupakan salah satu unsur yang membentuk pemukiman. Londa merupakan areal penguburan bagi rumpun keluarga dari wilayah adat Todongkon. Secara kelembagaan adat, Tadongkon merupakan salah satu wilayah adat yang masuk dalam wilayah adat Kesu. 

Dengan demikian sebagai pemukiman tradisional Toraja, maka wilayah adat Tadongkon termasuk memiliki arti khusus sebagai bukti nyata kearifan lokal nenek moyang dalam penataan lansekap untuk kepentingan budaya penghuninya. Keindahan alam, keunikan arsitektur baik tongkonan dan alang, disamping adanya komponen permukiman lainnya seperti rante, liang, sawah dan hutan adat, sebagai satu kesatuan budaya yang juga menjadi daya tarik tersendiri, menjadi point penting dalam pengusulannya sebagai warisan budaya dunia maupun cagar budaya nasional. 

Oleh karena itu wilayah adat Tadongkon ini memiliki potensi sebagai kawasan cagar budaya, karena masih merefleksikan pola permukiman khas yang menyatu dengan alam berdasar nilai kearifan lokal (Tallu Lolona) yang dapat menjadi pelajaran untuk model permukiman dan kehidupan berkelanjutan serta menjadi contoh keterbukaan dan toleransi. Untuk itu mari kita senantiasa jaga, lindungi, dan lestarikan cagar budaya kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun