Mohon tunggu...
Rumah Suluh
Rumah Suluh Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Inisiatif inovasi membuat demokrasi jadi kebiasaan hidup warga, produktif, inklusif dan bermakna

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kuasa Uang

28 November 2014   00:12 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:40 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Situasi politik saat merupakan cermin dari proses pemiu yang lalu.

Kalau kita berusaha hadir dalam peristiwa pemilihan umum – baik pemilihan anggota parlemen, presiden ataupun kepala daerah, maka akan terlihat suatu pertarungan yang sengit, yakni antara kekuatan “nilai” dengan kekuatan uang. Bercermin dari kasus-kasus yang sekarang ini berkembang, yakni kasus-kasus hukum yang menimpa politisi, sangat nampak bahwa kekuatan uang telah bekerja dengan sangat hebat. Dari kasus-kasus tersebut, dapat direkonstruksikan bahwa diantara mereka yang mendapatkan posisi strategis, memperolehnya dengan cara-cara yang mengandalkan kekuatan uang (aksi uang). Kita tentu mengakui bahwa tidak semua pertarungan politik dapat dimenangkan oleh aksi-aksi uang. Namun dari segi jumlah dan trend, nampaknya kekuatan “nilai” cenderung menjadi minoritas, dan sebaliknya aksi uang menjadi mayoritas atau menjadi perilaku yang diwajarkan.

Mereka yang akan tampil ke panggung public atau yang akan ikut dalam kompetisi pemilu, pada umumnya bukan pertama-tama memeriksa diri, kehadiran dan pemikiran yang dimilikinya, melainkan memeriksa kantong uang: apakah persediaan yang ada mencukupi untuk proses pertarungan ataukah tidak. Jumlah menjadi penting dan menentukan. Mereka yang punya persediaan besar dalam jumlah, tentu memiliki optimisme yang lebih tinggi ketimbang mereka yang punya persediaan kecil. Hal ini pula yang mungkin dapat menjelaskan mengapa mereka yang “punya” (kaum berpunya), merasa diri punya “hak” dan punya peluang, untuk ikut pertandingan dan duduk pada posisi politik tertentu. Jika logika ini diteruskan, maka dapat dikatakan bahwa diam-diam telah terbentuk semacam pemahaman bahwa rakyat akan mudah dibeli, atau aksi uang akan sangat menentukan hasil sebuah kompetisi.

Jejak aksi uang dapat dilihat jelas dari penampilan teknologi pertarungan, yakni tidak lagi mengandalkan pengorganisasian atau pertemuan-pertemuan ke-manusia-an, melainkan lebih mengandalkan teknik-teknik marketing biasa. Maka yang pergerakan politik bukan menjadi pergerakan organisasi (yang mengandalkan militansi, dan pengorbanan), melainkan pergerakan marketing yang sepenuhnya mengandalkan kekuatan uang. Rakyat dalam hal ini, lebih dipandang sebagai obyek, sebagai konsumen, atau sebagai pihak yang hanya dibutuhkan suaranya di bilik TPS, dan bukan subyek yang berkepentingan dengan hasil dari pemilu. Tanpa terasa, posisi pemilu sebagai pertarungan politik yang menyangkut hidup dan kehidupan rakyat, menjadi semacam pertarungan perebutan jabatan, yang berarti pertarungan antar pribadi. Hal ini ditunjukan kejadian dimana kekalahan atau kemenangan satu pihak dalam proses pemilu, bukan sebagai kekalahan atau kemenangan suatu pilihan politik, melainkan kekalahan atau kemenangan individu.

Lebih jauh jika kita berkesempatan bertanya kepada mereka yang ikut dalam pertarungan, maka ketika mereka kalah atau tidak mendapatkan kursi yang hendak diraihnya, yang berkembang bukan testimoni tentang kekalahan suatu ide, melainkan jumlah pengeluaran yang telah dihabiskan. Tidak ada kesaksian yang menyebutkan dengan jelas kemungkinan akibat dari ketidakterpilihannya. Dan tidak ada uraian yang jelas, yang mampu menggambarkan apa akibat ketika dia terpilih. Sebaliknya, yang disodorkan adalah berbagai beban yang harus ditanggungnya, sebagai akibat dari biaya politik yang telah dikeluarkan selama masa pertarungan. Artinya, tidak ada kalkulasi politik, tidak ada kalkulasi mengenai arah masa depan rakyat, dan tidak ada kalkulasi ideology. Yang ada adalah kalkulasi ekonomi. Bagi yang kalah, usai pengumuman hasil pemilu menjadi penanda berakhirnya pergerakan. Persis seperti mereka yang kalah di meja judi.

Apakah ini merupakan kecenderungan yang dapat dibenarkan? Apakah memang rakyat hanya menjadi pihak yang pasif, menjadi obyek, atau menjadi konsumen politik yang tidak punya hak sebagai kekuatan yang dapat merubah arah gerak sejarah. Bagi kita, semua kejadian yang ada, setidaknya bersumber pada titik-titik berikut: Pertama, terjadinya elitisasi politik, atau dijauhkannya rakyat dari proses politik, sedemikian rupa sehingga rakyat merasa bahwa politik, bukan merupakan wilayah mereka. Kesadaran kritis rakyat telah dimandulkan, sehingga rakyat seolah-olah hanya pihak yang berurusan dengan TPS, dan di luar TPS bukan menjadi arena kerja rakyat.

Kedua, terjadinya proses komersialisasi politik, sedemikian rupa sehingga politik menjadi arena yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang berpunya, dan menutup peluang bagi mereka yang tidak punya. Mulai dari persyaratan yang sangat rumit, yang mempersempit kesempatan rakyat kecil, sampai pada biaya proses yang mahal. Para cerdik pandai, bukan mengembangkan teknologi politik yang murah, sebaliknya mengembangkan berbagai teknik politik yang mahal, mengandalkan tenaga ahli (seperti survey, dst). Akibatnya, rakyat harus menerima kenyataan, bahwa pihaknya tidak akan mungkin menggerakkan politik, dan sebaliknya hanya punya hak untuk pihak yang digerakkan.

Ketiga, terjadinya pendangkalan makna politik, dan dibiarkannya politik berjalan di luar landasan yang sudah ada. Politik yang dangkal adalah politik yang tidak mampu menyentuh realitas hidup rakyat. Politik yang menjauh dari landasan Negara, adalah politik yang sibuk dengan pencitraan dan tidak mampu menjawab masalah-masalah yang dihadapi rakyat. Dengan politik yang serba dangkal dan serba meleset dari kehidupan rakyat, membuat rakyat makin tidak tertarik pada politik, dan membuat rakyat pada gilirannya mengambil jarak dengan politik. Kondisi inilah yang menjadi target dari tata hidup di bawah skema neoliberalisme. Keadaan itu pula yang akan dapat menjelaskan berbagai silang sengkarut politik dewasa ini.

sumber: http://rumahsuluh.org/kuasa-uang/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun