Konfigurasi perpolitikan di negri ini cukup menarik untuk ditelisik lebih jauh, sebab kelompok kepentingan (Interest Group) dan kelompok penekan (Presure Group) memiliki kepentingan masing-masing yang ingin di Akomodir di parlemen maupun di tingkatan eksekutif. Hal ini memunculkan wajah demokrasi transaksional.
Pemilihan umum yang digelar 9 juli lalu menghadirkan konstelasi politik baru sepanjang perjalanan negri ini. Hadirnya partai-partai politik yang tergabung dalam dua poros koalisi utama yang mengusulkan masing-masing kandidat capres dan cawapres, sebut saja di pihak Prabowo-Hatta didukung oleh koalisi Merah Putih (KMP) sedangkan Jokowi-Jk di dukung oleh Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Pasca keputusan penetapan presiden terpilih hasil sengketa pemilu di Mahkama Konstitusi (MK) Jokowi-Jk dilantik menjadi orang nomor wahid di Indonesia, dan kemenangan tersebut di identikan sebagai kemenangan rakyat Indonesia. namun setelah proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden usai, masalah tidak lantas ikut selesai. Namun dipihak KMP sebagai koalisi besar yang kalah pada saat kontestasi pemilu, sepertinya memiliki rasa dendam. Sehingga di parlemen mereka kuasai mulai dari ketua DPR, Komisi, Fraksi dan ketua MPR RI. Tak hanya sampai disitu saja akan tetapi KMP merevisi Undang-Undang MD3 (MPR, DPRI, DPRD dan DPD).
Politik Mendua
Konstruksi politik dalam satu dasawarsa ini, tidak bisa terlepas dari dua arus utama sebagai kontestasi pemilu presiden dan wakil presiden. Disisi lain Elit partai memainkan peran yang cukup signifikan membangun opini publik kearah pemihakan kepada satu koalisi tertentu, tentu memang dengan gaya dan perilaku yang didesain sehingga masyarakat ikut kedalam arus utama. Pencitraan menjadi salah satu modal sosial politik yang cukup signifikan, untuk memasarkan prodak politik kepasaran. Ditambah dengan peran media massa mengemas prodak dengan cantik dan menarik, sehingga masyarakat yang terlanjur dipengaruhi dengan embel-embel kesejahteraan sosial, perbaikan taraf hidup, pendidikan gratis, kesehatan dll. Memakan mentah-mentah informasi tanpa proses filterisasi, maklum saja media massa di indonesia tidak memberikan pendidikan politik terhadap masyarakat,melainkan melakukan proses hegemonik yang sifatnya destruktif.
Munculnya dua arus utama dipentas perpolitika sehingga membuat masyarakat kita terkotak-kotak mendukung salah satu kandidat yang bertarung. Kalau bukan jokowi ya Prabowo, dan tidak heran kalau ada sebagian orang yang mengkritik salah satunya akan dilabelkan sebagai pendukung calon lainnya. Padahal kritikan itu tidak berkorelasi dengan soal dukung mendukung salah satu kandidat, namun arus utama politik sudah demikian, maka carapandang kita juga ikut berpengaruh. Apalagi media massa ikut memprovokasi, sehingga menjaga eksistensi keberpihakan. Media agak sulit untuk di arahkan untuk menjaga independensi sebagai pilar keempat dalam negara demokrasi, namun justru menjadi pendukung dan penyokong kandidat. Kegaduhan Politik seperti ini tidak sehat bagi publik, karna tidak memberikan pendidikan politik sama sekali.
Setelah jokowi dilantik menjadi presiden dan merampungkan susunan kabinet kerja, didalam kementrian diisi oleh elti politik dan para profesional. Walau pada awalnya presiden menegaskan bahwa dalam kabinet kerja yang akan dibentuk bukan dari ketua-ketua partai, namun fakta berbicara lain. pemilihan mentri ia gandeng komisi pemberantas korupsi (KPK), banyak yang menilai ini suatu langkah progres untuk memperbaiki pemerintahan karena akuntabiltas dapat dipertanggunjawabkan. Akan tetapi setelah KPK merekomendasikan dalam penemuannya terdapat beberapa calon mentri yang teridentifikasi mendapatkan catatan merah, namun tidak di usut sampai kemeja hijau untuk proses hukum. Ini memunculkan banyak pertanyaan terhadap presiden terpilih komitmennya dalam proses pemberantasan korupsi. Tak hanya sampai disitu saja kecurigaan publik terhadap presiden, pasca penetapan kebijakan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dengan alasan Subsidi BBM salah arah. Banyak perusahaan swasta dan kalangan menengah keatas menggunakan BBM bersubsidi, dijadikan sebagai alasan pembenaran terhadap kebijakan tersebut. Walau dunia tahu harga minyak dunia masih stabil. Gembar-gembor ekonomi kerakyatan dan ekonomi kreatif hanya sampai di ujung lidah, sebagai jualan politik agar dagangannya dapat terjual dan laris manis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H