Lepas dari posisi wapres, Hatta menjadi lebih terbuka dalam mengkritik Sukarno yang sedang larut dengan Demokrasi Terpimpinnya. Tidak kurang Hatta mengecamnya yang memenjarakan Syahrir.
Boleh berbeda dalam prinsip politik, namun hubungan sebagai dua orang insan tidaklah boleh cedera. Itu dipegang betul oleh Hatta. Di tahun 1970 dia adalah satu-satunya orang yang berani terang-terangan mengecam Pemerintah Orde Baru yang menurutnya tidak manusiawi dalam memperlakukan Sukarno sebagai tahanan politik. Dalam kesempatan terakhirnya, Hatta menangis melihat kondisi sahabatnya yang mengenaskan.
Setelah sepuluh tahun hidup dalam sepi dan jauh dari hingar bingar politik, Hatta yang telah berulang kali masuk rumah sakit berpulang tanggal 14 Maret 1980. Sang Proklamator tidak bersedia dimakamkan di taman makam pahlawan, karena ingin dekat dengan rakyatnya. Sesuai pesannya, ia dikubur di TPU Tanah Kusir.
Sama seperti mas kawinnya kepada Rahmi Rachim yang hanya berupa buku karangannya sendiri, isteri dan ketiga puterinya, Meutia, Gemala, dan Halida, tidak diwarisi harta yang berarti. Namun sesungguhnya bangsa ini telah ditinggalkannya dua buah warisan yang tidak ternilai; kemerdekaan dan teladan ketulusan yang tanpa pamrih untuk mengabdi bagi kemajuan bangsanya.
Terima kasih, Bung! Kami rindu orang-orang sepertimu.
Groningen, Agustus 2016
Versi lain tulisan ini juga bisa dibaca  https://rullytricahyono.wordpress.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H