Mohon tunggu...
Rullysyah
Rullysyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Belajar dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

KPK Sekarang kok Jadi Memble?

2 Januari 2012   22:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:25 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1325553171122101360

[caption id="attachment_160771" align="aligncenter" width="620" caption="KPK (KOMPAS.com)"][/caption]

Mungkin bukan saya saja yang merasa gemas melihat “Keperkasaan” Miranda Goeltom yang sepertinya tak tersentuh hukum. Nunun yang bersuamikan mantan WaKapolri saja sudah menjadi pesakitan berikut beberapa anggota DPR Periode 1999-2004 yang sudah “berlayar”, tetapi “Yang Punya Hajat” dengan masalah motivasi Cek Pelawat masih aman tenteram di rumahnya sambil nonton TV dan lainnya.

Ketika Nunun sudah tertangkap saya berpikir pasti KPK mampu memecahkan kasus ini, mencari benang merah antara Nunun dan Miranda. Tetapi rasanya saya keliru karena langkah KPK sekarang menjadi lambat sekali dan boleh dibilang Memble.

KPK sudah tahu kondisi kesehatan Nunun dan berdasarkan hukum Nunun tidak dapat diperiksa bila memang dalam keadaan sakit. Berita terakhir Nunun sudah 2 hari di RS Polri. Mengapa KPK tidak bergerak saja lebih dulu daripada menunggu kesembuhan Nunun? Bukankah ada beberapa informasi yang telah diterima dari Nunun yang bisa dijadikan dasar penyidikan?

Dan akhirnya saya menyatakan KPK jadi Memble. Dan penilaian ini berdasarkan fakta :

KPK tidak mampu memanggil paksa / meminta keterangan dari saksi-saksi yang berada di pihak Bank Artha Graha dan Pihak PT First Mujur Transplantation & Industry.

Seperti yang dikutip dari JPNN.COM 29/12,Tribunenews.com 29/12 dan Waspada.co.id 29/12 memberitakanJuru Bicara KPK, Priharsa Nugrahatelah memberi keterangan bahwa KPK telah memanggilSoedin yang bekerja di bagian transfer dana di Artha Graha pada tanggal 29 desember 2011, tetapi yang bersangkutan mangkir dari panggilan KPK tanpa pemberitahuan.

Sebelumnya KPK juga sudah pernah memanggil seorang saksi dari bagian treasury Artha Graha bernama Soeparno. Dan sama juga dengan Soedin, Soeparno mangkir dari pemanggilan tanpa pemberitahuan.

Sedangkan dari pihak PT. First Mujur Transplantation & Industri, KPK pernah memanggil Direktur  PT First Mujur Plantation, Tedy Uban pada awal Oktober lalu namun Tedy mangkir. Begitu juga dengan salah satu Direkturnya yang bernama Hidayat Lukman yang tidak bersedia di panggil KPK.

Jadi 4 orang yang berada di pihak Artha Graha dan PT.FMTI tidak mampu dihadirkan KPK sebagai saksi.

Kronologis Alur Cek Pelawat Versi Nunun

Diceritakan bermula dari kerja sama bisnis perkebunan sawit antara Ferry Yen dan PT.FMTI yang membutuhkan dana sebesar Rp.75 Milyar untuk membeli lahan seluar 5.000 Hektar. Mereka mengajukan Kredit kepada Bank Artha Graha. Tetapi dari Rp.75 Milyar yang diajukan,PT.FMTI meminta Rp.24 Milyar dicairkan dalam bentuk Cek Pelawat yang terdiri dari 480 lembar cek dengan harga per lembarnya Rp.50 Juta. (point A).

Karena Artha Graha tidak memiliki Cek Pelawat tersebut kemudian mereka membeli dari Bank Internasional Indonesia (BII). Pembelian itu dilakukan oleh pegawai Artha Graha bernama Soeparno (bagian treasury).Dan Soeparno kemudian memberikan Cek tersebut kepada Soedin (bagian Transfer)untuk menyerahkannya kepada PT.FMTI yang mengajukan Kredit. (point B).

Dalam perjalanannya tidak diketahui atau tidak terlacak bagaimana Cek Pelawat tersebut berpindah tangan dari Artha Graha ke PT.FMTI lalu berpindah ke Ferry Yen akhirnya sampai ke tangan Nunun. Oleh Nunun diberikan kepada Arie malangjudo untuk diberikan kepada anggota DPR. Hal itu tidak terlacak karena Ferry Yen sudah meninggal tahun 2007. (point C).

Analisa Orang Awam.

Pada point A sudah menunjukan ketidakberesan informasi. Mengapa untuk membeli lahan perkebunan harus menggunakan Cek Pelawat? Dan mengapa harus dipecah dengan nominal Rp.50 Juta sebanyak 480 lembar? Yang tahu permasalahannya pasti Ferry Yen yang sudah meninggal dan PT.FMTI. Kalau Ferry sudah meninggal, KPK seharusnya tinggal memaksa PT.FMTI memberikan penjelasan pengajuan kreditnya. Dan pastinya Direktur PT.FMTI tahu permasalahannya.

Pada point B terlihat bahwa Bank Artha Graha punya peran dimana dengan alasan apa mereka mengucurkan kredit ke PT.FMTI dengan nilai sebesar itu plus catatan ada permintaan khusus pencairan dana berupa Cek Pelawat. Keputusan menyetujui pasti ada di pejabat bank tersebut. KPK seharusnya memanggil juga pejabat bank tersebut selain Soeparno dan Soedin yang melihat langsung Cek Pelawat tersebut.

Pada point C dimana dinyatakan Ferry Yen sudah meninggal, apakah tidak bisa melacak transaksi dari almarhum entah dengan bantuan PPATK atau pihak lain? Minimal mencari keterangan dari keluarga ataupun sanak saudara Ferry Yen yang masih hidup.

Jadi memang sebagai orang awam menyimpulkan KPK memang lambat bergerak. Entah faktor kehati-hatian atau masalah politis atau masalah lain yang mungkin tidak bisa dipahami rakyat biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun