Mohon tunggu...
Rullysyah
Rullysyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Belajar dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Inilah Cara SBY Membatalkan UU Pilkada

30 September 2014   13:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:58 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semuanya tergantung SBY.20 Hari kedepan adalah masa Perang Antara SBY dengan Dirinya Sendiri. Kalau dia berhasil menang maka Rakyat akan mengenangnya sebagai Pahlawan, akan tetapi kalau ternyata dia kalah maka Rakyat akan mengenangnya sebagai Pecundang

UU Pilkada yang kemarin disahkan Paripurna DPR memang benar-benar menjadi Polemik tak berkesudahan. Di mata masyarakat ada 2 hal besar yang membuat mereka marah. Yang pertama adalah Dapat dipastikan Pilkada Tak langsung merupakan manifestasi dari rencana busuk Koalisi Merah Putih untuk menguasai birokrasi-birokrasi di daerah. Dan yang kedua dan ini memang membuat kemarahan masyarakat menjadi-jadi adalah akibat dilakukannya Drama Politik Memuakkan oleh partai Demokrat berikut Fraksinya di DPR.

UU Pilkada sudah diketok Palu oleh DPR, dan itu memicu gelombang protes keras dari masyarakat kepada SBY. SBY dianggap bertanggung-jawab atas Drama Politik dari Fraksi Demokrat di DPR. Ratusan ribu kecaman dilontarkan ke SBY dalam 2 hari setelah Palu diketok DPR.

Yang menarik kemudian, bersamaan dengan terjadinya ratusan ribu kecaman untuk SBY yang saat kemarin berada di Luar Negari, SBY ternyata malah menyatakan sangat kecewa dengan Hasil Keputusan Rapat Paripurna DPR. SBY menyatakan bahwa dirinya tidak pernah sama sekali mengintruksikan Fraksi Demokrat Walk Out dari Paripurna. SBY mengatakan akan mengusut siapa kader Demokrat yang memerintahkan Fraksi Demokrat Walk Out. Dan yang terakhir SBY mengatakan dirinyamerasa berat untuk menanda-tangani UU Pilkada tersebut dan merencanakan akan menggugatnya di MK .

Selanjutnya dalam berbagai kesempatan jumpa Pers, SBY berkali-kali menyatakan dirinya dan Demokrat masih menghendaki Pilkada Langsung dan akan berupaya keras untuk membatalkan UU Pilkada tidak langsung.

Dari poin tersebut bisa dikatakan bahwa sekarang semua tergantung SBY. Benarkah SBY merasa bertanggung jawab atas disahkan UU Pilkada yang menimbulkan Polemik tersebut? Benarkah SBY akan berusaha dengan keras untuk membatalkan UU Pilkada tersebut?

Secara logika, baik logika umum maupun logika hukum, kalau SBY memang berniat membatalkan UU tersebut masih mempunyai peluang yang cukup besar untuk itu. Beberapa pendapat pakar hukum sudah beredar di media-media social dan kelihatannya cukup memfasilitasi langkah SBY bila memang benar berniat menggugurkan UU Pilkada Tak Langsung ini.

LANGKAH PERTAMA MENENTUKAN

Kalau memang SBY berniat serius untuk menggugurkan UU Pilkada ini tentunya peluangnya sangat terbuka dan kemungkinan besar akan berhasil. Dan bila berhasil, tentu saja SBY akan dianggap masyarakat telah menyelamatkan Demokrasi Bangsa sehingga SBY akan dianggap sebagai Pahlawan.

Dan untuk mengukur keseriusan dari SBY, cukup dilihat dari langkah pertama yang dilakukannya setelah kembali dari kunjungannya ke luar negeri. Diberitakan dini hari tadi SBY sudah datang ke tanah air dan langsung melakukan Rapat Kordinasi untuk membahas UU Pilkada ini di Jakarta.

Berikutnya langkah yang ditunggu masyarakat adalah sikap SBY untuk membersihkan partainya dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Tanggal 26 September lalu di Amerika Serikat SBY sudah menyatakan akan mencari tahu siapa dalang yang membuat Fraksi Demokrat Walk Out di Paripurna. Dan kemarin sore Ketua Fraksi Demokrat Nurhayati Assegaf akhirnya mengakui bahwa dirinya yang memerintahkan seluruh anggota Fraksi Demokrat untuk Walk Out karena Opsi mereka tidak diterima Majelis Paripurna.

Pertanyaannya kemudian, sinkron tidak pernyataan SBY di luar negeri yang mengatakan menyesal dengan hasil rapat paripurna dan menyalahkan Fraksi Demokrat? Kalau sinkron maka SBY akan tidak ragu-ragu lagi memberi sanksi kepada Nurhayati Assegaf dan kawan-kawan.

Akan tetapi bila, SBY tidak memberikan sanksi sama sekali kepada Fraksi Demokrat yang berkhianat maka dapat dipastikan niat selanjutnya SBY untuk menggugurkan Pilkada Tidak Langsung hanyalah Lip Service belaka. Tidak akan ada masyarakat yang percaya pada SBY lagi bila langkah ini tidak dilakukan.

Bagaimana Langkah Strategis SBY Selanjutnya tergantung beberapa hal :

A.UU PILKADA TERSEBUT SUDAH DIPANDANG SAH ATAU BELUM.

Ini merupakan klausul yang sedang diperdebatkan di berbagai media dimana UU Pilkada yang sudah diketok Palu oleh DPR dapat dinyatakan Sah atau Belum.

PERSEPSI 1 : Pendapat Prof Mahfud MD, Prof Jimly Assidiqie dan beberapa pakar hukum lainnya mengacu pada ayat 5 Pasal 20 Amandemen UUD 45 yang menyatakan RUU yang sudah disetujui oleh DPR tapi tidak ditanda tangani presiden dalam waktu 30 hari, rancangan itu tetap akan berlaku.

PERSEPSI 2 : Pendapat Prof Refly Harun, Prof Denny Indrayana dan beberapa pakar hukum lainnya mengacu pada Ayat 2 Pasal 20 yang menyatakan bahwa setiap RUU yang dibahas oleh Presiden dan DPR harus mendapatkan persetujuan bersama. Dan Bila tidak mendapatkan persetujuan bersama, Ayat 3 Pasal 20 menentukan bahwa RUU tersebut tidak dapat dibahas lagi dan tidak dapat diajukan dalam siding DPR untuk Periode yang sama.

“Prof. Refly dan Prof. Denny menyatakan bahwa Setelah selesai Ketok Palu Paripurna DPR, Pemerintah baik melalui Presiden maupun Mendagri belum pernah secara resmi menyatakan Setuju dengan DPR. Pemerintah melalui Mendagri baru menyatakan Pemerintah menghormati Hasil Rapat Paripurna DPR. Menghormati belum berarti menyetujui.”

PERSEPSI 3: Dari kedua pendapat tersebut memang masih diperdebatkan oleh para pakar hukum. Bangunan Logika yang seharusnya jadi prinsip Pasal 20 yang mengatur Tentang Pembentukan UU adalah menterjemahkannya kedalam suatu kesatuan dari Ayat 1 hingga Ayat 5 sehingga mereka yang hanya semata-mata berpegang pada Ayat 5 otomatis gugur pendapatnya. Begitu juga bila mereka menambahkan Pasal 73 UU No.12 Tahun 2011 untuk memperkuat tafsiran Ayat 5, tetap gugur pendapatnya karena UU No.12 secara Hirarki dibawah dari UUD 45.

Filosofinya adalah Tidak mungkin ada Ayat 5 pada Pasal 20 bila tidak ada ayat 2,3 dan 4 sebelumnya. Dan kalau melihat bahasa yang digunakan pada Ayat 5 ini sangat jelas maksud dan tujuan ditambahkannya (diamandemennya) Ayat 5 ini adalah (hanya) untuk mempertegasAyat 4 dimana ditentukan bahwa Presiden wajib menandatangani RUU yang sudah disetujui bersama.

Sebenarnya Kata kunci untuk solusi dari perdebatan diatas adalah Sudah Disetujui Bersama atau Belum?

Bila disepakati bahwa Kehadiran Menteri Dalam Negeri pada Rapat Paripurna DPR kemarin adalah Suatu Persetujuan Bersama, dan kemudian Menteri Dalam Negeri dalam kehadirannya Tidak Pernah sama sekali Menyatakan untuk Menolak Hasil Rapat Paripurna maka dapat diasumsikan dan dinyatakan bahwa Pemerintah sudah setuju dengan DPR sehingga Sudah Tercapai Persetujuan Bersama.

Dan kalau memang sudah disepakati telah tercapai Persetujuan Bersama, maka UU itu sudah dapat dinyatakan SAH adanya, baik nantinya akan ditanda-tangani Presiden ataupun Tidak.

B.DAPATKAH UU DIGUGAT DAN KEMANA MENGGUGATNYA?

Kalau dalam soal UU Pilkada ini dapat digugat atau tidak, seluruh Pakar Hukum telah sepakat bahwa UU ini setelah disahkan sudah pasti dapat digugat oleh pihak yang dirugikan. Siapa pihak yang dirugikan tentunya masyarakat maupun lembaga-lembaga masyarakat.

Dan kalau SBY maupun Demokrat yang menggugatnya sudah pasti tidak diizinkan oleh undang-undang yang ada. Itu artinya Jeruk makan Jeruk. Yang membuat UU mereka, yang menggugat mereka. Masyarakatlah yang pantas untuk menggugat UU Pilkada ini.

Selanjutnya tentu harus dipelajari dan dipastikan bahwa UU Pilkada yang sudah disahkan ini bertentangan tidak dengan UUD 45. Bila bertentangan dengan Konstitusi maka UU ini seharusnya digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Tetapi bila ternyata dipastikan UU Pilkada ini tidak bertentangan dengan UUD 45 akan tetapi bertentangan dengan Undang-undang lain, seperti contohnya UU MD3 maka UU Pilkada ini seharusnya digugat ke Mahkamah Agung.Ini sesuai dengan Pasal 10 UU No.12 Tahun 2011 yang mengatur Proses gugatan terhadap UU yang disahkan.

Kesimpulan poin B, bila memang UU Pilkada tersebut sudah dinyatakan Sah, maka Gugatannya seharusnya bukan dilakukan oleh SBY maupun partai Demokrat, melainkan masyarakat baik langsung maupun melalui lembaga-lembaga yang ada. SBY tidak bisa melakukan langkah ini.

C.ADAKAH CARA LAIN SBY YANG TIDAK MELALUI GUGATAN?

UUD 45 dan Amandemennya sebenarnya juga sudah memfasilitasi kejadian dimana bila terjadi suatu ketidak-sepakatan antara Presiden dan DPR didalam mensahkan sebuah Undang-undang. Tetapi ini dapat dilakukan dengan prasyarat khusus yaitu telah terjadi peristiwa / Kegentingan yang memaksa Presiden untuk melakukan suatu tindakan.

Landasan hukum ini mengacu pada Pasal 22 UUD 45 dimana bila terjadi suatu kondisi pemerintahan yang Genting maka Presiden dapat menggantikan UU yang baru dibuat dengan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu). Akan tetapi Perppu ini harus disetujui oleh DPR dalam suatu Sidang berikutnya. Bila Perpu ini ditolak DPR maka UU yang dibuat sebelumnya akan diberlakukan.

Hal yang krusial dalam poin C ini(Pasal 22) adalah pada saat kapan dapat dianggap telah terjadi suatu kegentingan?

Bila melihat begitu signifikannya penolakan berbagai lapisan masyarakat atas UU Pilkada Tak Langsung ini dan diperkirakan akan menimbulkan Gejolak Sosial maupu Gejolak Politik yang akan membuat Pemerintahan tidak stabil, sudah sangat tepat saat ini dianggap telah terjadi Suatu Kegentingan yang memaksa.

Kalau Presiden-presiden yang lain kemungkinan besar sudah mengeluarkan Perpu, tetapi entahlah SBY. SBY adalah salah satu Presiden RI yang selalu terlibat dalam Keraguannya sendiri.

Kalau SBY berani mengambil langkah Menolak UU Pilkada dan membuat Perppu, maka untuk sementara UU Pilkada Tak Langsung tidak bisa diberlakukan. Dan menunggu Sidang DPR yang baru nanti yang akan menentukan Perppu Presiden SBY ini disetujui atau ditolak.

Minimal kalau SBY sudah membuat sebuah Perpu meskipun nantinya akan ditolak DPR yang baru,maka masyarakat luas yang ada saat inisudah mulai kembali sedikit mempercayai SBY.

D.USULAN YUSRIL IHZA MAHENDRA

Dikabarkan berbagai media bahwa Prof. Yusril Ihza Mahendra sudah bertemu SBY di Jepang semalam dan memberi suatu usulan kepada SBY bagaimana cara membatalkan UU Pilkada ini.

Dari berita dikabarkan Prof. Yusril menyarankan agar SBY tidak menanda-tanganiUU Pilkada ini hingga jabatan Presiden SBY selesai tanggal 20 Oktober nanti. Menurut UUD 45, UU Pilkada yang baru akan mulai berlaku sejak ditanda-tangani Presiden atau 30 Hari setelah disahkan DPR meski tanpa tanda-tangan Presiden.

Itu artinya bahwa 3 hari terakhir sebelum UU Pilkada harus ditanda-tangani, Presiden SBY sudah diganti oleh Presiden Jokowi. Dan Presiden Jokowi secara Konstitusi tidak berkewajiban untuk menanda-tangani UU Pilkada yang telah disahkan oleh DPR yang juga sudah selesai periodenya.

Presiden Jokowi tidak berkewajiban untuk menanda-tanganinya karena memang fakta hukumnya Presiden Jokowi maupun Pemerintahannya Tidak Ikut Serta dalam membahas RUU tersebut.

Selanjutnya Presiden Jokowi dengan keinginannya sendiri (tanpa diminta oleh SBY) dapat mengembalikan UU Pilkada tersebut ke DPR yang baru untuk dapat dibahas lagi baik melalui Komisi II maupun Sidang Paripurna.

Meskipun Pasal 20 Ayat 5 menjelaskan UU dapat berlaku tanpa tanda-tangan Presiden tetapi Presiden yang baru mempunyai Hak untuk menentukan arah pemerintah selanjutnya.Secara logika Hukum Pasal 20 Ayat 5 hanya mengikat DPR dan Presiden yang membuat RUU nya. Presiden Jokowi tidak terikat oleh Pasal 20 tersebut karena bukan Periode Pemerintahannya.

Yang jelas saran dari Prof. Yusril ini cukup baik dan pantas untuk dilakukan oleh SBY. Apalagi bila dikombinasikan dengan poin C dimana SBY menerbitkan Perppu meskipun nantinya oleh Jokowi dapat saja keduanya (UU Pilkada dan Perppu) dibatalkan sesuai dengan kebutuhan pemerintahan yang baru.

Yang pasti kalau memang SBY mau dan berani melakukan langkah-langkah ini maka itu membuat UU Pilkada yang kemarin disahkan DPR yang controversial ini tidak dapat diberlakukan sehingga mayoritas rakyat kembali dapat melakukan Pilkada-pilkada secara langsung sesuai dengan aspirasinya.

Salam Kompasiana

Sumber :

http://news.detik.com/read/2014/09/30/054439/2704787/10/istana-presiden-perhatikan-saran-yusril-untuk-tak-tandatangani-uu-pilkada

Tulisan sebelumnya :

http://politik.kompasiana.com/2014/09/29/tanggapan-untuk-ade-armando-uu-pilkada-tidak-sah-tanpa-persetujuan-presiden-677117.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun