Mohon tunggu...
Rullysyah
Rullysyah Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Belajar dan Berbagi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Malu Ah Kalau Pakai Premium!

27 April 2012   11:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:02 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_184639" align="aligncenter" width="620" caption="Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium ke mobil pelanggan di SPBU/Admin (KOMPAS/Priyombodo)"][/caption]

Secara Psikologis pada dasarnya manusia tidak  suka diatur  oleh orang lain apalagi ia disarankan / disuruh  utuk membeli sesuatu yang lebih mahal dari pilihan yang ada. Adalah hak setiap warga-negara untuk memilih dan membeli sesuatu yang lebih ekonomis dari pilihan yang ada.  Itulah yang mungkin menjadi kendala pemerintah untuk menentukan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi. Dan andai saja saya bagian dari pemerintah mungkin saya akan berpikir seperti ini :

1.Kondisikan Target Dan Fasilitasi Dengan Baik.

Sebenarnya pernah ada masalah yang  serupa dengan kondisi yang terjadi diatas dimana waktu itu pemerintah berhasil mengatasinya, yaitu konversi minyak tanah ke gas. Sebelumnya telah terjadi penolakan besar-besaran di masyarakat karena awamnya pengetahuan tentang pemakaian Gas dalam Rumah Tangga.  Tetapi akhirnya itu berhasil diwujudkan dengan pembagian kompor + tabung gas gratis ke sebagian kecil warga dan subsidi harga untuk tabung gas ukuran 3 Kg. Disamping itu distribusi  minyak tanah sebagai bahan bakar sebelumnya dikurangi secara periodic dan dikondisikan harganya jauh diatas harga gas. Akhirnya saat ini sudah jarang sekali masyarakat memakai minyak tanah.

Tetapi bila hal serupa diterapkan pada BBM bersubsidi ( Premium dalam hal ini tentunya) mungkin terlalu sulit karena harga converter Premium ke Gas jauh lebih mahal dan kesiapan/keberadaan  stasiun pengisian Gas jauh dari memadai.  Selain biaya tinggi yang harus dianggarkan untuk converter gas tentu sulit menyiapkan stasiun-stasiun pengisian gas dengan cepat.

Sempat saya membayangkan andai saja tiba-tiba mesin untuk memproduksi Premium macet total seluruh negeri sehingga BBM yang tersedia dan yang bisa dibeli hanyalah jenis Pertamax, tentunya masyarakat kita mau tidak mau membeli Pertamax. Itu dulu juga  terjadi pada minyak tanah dimana stok minyak tanah terbatas dan harganya 2 X lipat harga bensin.Tetapi sekali lagi Tetapi bila tidak ada Premium,  mampukah Pertamina menyediakan Pertamax sebanyak yang dibutuhkan masyarakat dan dijual dengan harga yang sedikit dibawah harga yang dijual SPBU Asing?

Minimal pemerintah harus mengkondisikan Pertamina seperti itu dan memfasilitasinya. Disisi lain mungkin dibutuhkan adanya intensif bagi pabrik mobil/motor  dimana ada pengurangan pajak untuk pabrik yang memproduksi mobil /motor dengan bahan bakar gas. Mungkin itu juga bisa mendorong masyarakat kita untuk menggunakan gas sebagai bahan bakar pengganti BBM.

2.Jadikan Konsumsi BBM Non Subsidi Sebagai Lifestyle.

Dulu belasan tahun yang lalu dimana kendaraan roda dua tidak sebanyak sekarang, dimana masih sangat banyak masyarakat yang menggunakan kendaraan umum terutama bis kota, waktu itu mereka sangat pemilih untuk naik bus kota biasa dan bus kota AC. Waktu itu naik bus AC dianggap lebih mahal dan merupakan pemborosan. Tetapi lama kelamaan perbedaan harga/ongkos bus AC dan ekonomi menjadi terasa semakin tipis. Kecenderungannya masyarakat lebih memilih bus AC dibandingkan bus Ekonomi. Bus Non AC dianggap panas dan sesak, banyak copet sehingga tidak nyaman. Ini juga terjadi pada kereta api khususnya KRL Jabotabek sebelum jamannya Commuter. Secara perlahan masyarakat menengah akan lebih memilih kereta AC yang lebih bersih, lebih lega, lebih bebas pedagang asongan dan sedikit menjaga gengsinya bila bertemu dengan rekan bisnisnya atau rekan penting lainnya.  Ada kebutuhan gengsi diantara kebutuhan transportasi masyarakat.

Bisa dibayangkan kalau SPBU-SPBU dimasa depan terdiri dari dua jenis. Jenis pertama adalah SPBU yang mempunyai area yang lega/lapang, terlihat bersih dan penuh lampu-lampu terang dan lainnya.SPBU jenis ini menjual Bensin Pertamax yang harganya  Rp.10.000,-.  Lalu jenis kedua adalah SPBU yang areanya kecil, penuh antrian dan kelihatan kurang bersih. SPBU ini menjual Bensin Premium yang harganya Rp.5.000,-. Bensin premium bila digunakan bertahun-tahun berdampak mesin kendaraan cepat menua berbeda dengan pertamax yang lebih bersih bensinnya sehingga memperpanjang usia mesin kendaraan.

Dengan terkondisikan SPBU seperti itu ada kemungkinan besar masyarakat kelas menengah akan lebih sering mengunjungi SPBU Pertamax daripada SPBU Premium. Selain kenyamanan ada kebutuhan gengsi yang menyelinap diantara kebutuhan konsumsi transportasinya.

3. Pembatasan 1500CC  Atau Pembatasan Tahun Produksi Mobil Boleh Saja.

Silahkan saja diberlakukan pembatasan-pembatasan yang seadil-adilnya untuk tahap awal. Berlakukan kebijakan tersebut untuk jangka waktu pendek dulu, mungkin 1 – 2 tahun terlebih dahulu sebagai evaluasi sehingga bila terjadi kondisi yang kurang baik dapat dirubahnya kemudian. Bisa juga saat diberlakukannya kebijakan tersebut ada perkembangan baru/ solusi lain yang lebih baik sehingga bisa dirubah kebijakan yang lebih baik.

Dan untuk tahap-tahap awal kondisikan pengawasan ketat pada SPBU. Penggunaan Stiker Khusus Premium saja sudah cukup.  Tidak perlu Stiker yang mahal-mahal sekail dan tidak perlu dipikirkan tingkat kebocoran-kebocoran terhadap penggunaan stikernya.  Apalagi alat-alat control mahal yang ditanamkan di SPBU sungguh tidak perlu karena terlalu sulit aplikasinya dan merupakan pemborosan besar.

Yang penting sering-seringlah  melakukan operasi razia dari trantib secara acak ke SPBU-SPBU yang ada. Tidak perlu ada sangsi bagi pelanggar. Cukup mengusir mereka-mereka yang membandel atau lupa sehingga salah masuk SPBU seharusnya. Tiga sampai empat kali diusir dari SPBU Premium cukuplah membuat orang tersebut menjadi enggan untuk mampir lagi ke SPBU Premium. Selanjutnya sudah tidak perlu ada razia lagi untuk itu.

Semoga  pemerintah mendapat solusi tepat dan sederhana untuk mengatasi hal tersebut dan segera diberlakukan agar masyarakat menjadi tenang dan para spekulan tidak lebih lama bermain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun