Ketika linimasa media sosial penuh dengan foto anak-anak yang wajahnya belepotan usai makan cokelat atau video balita yang ngomong lucu, kamu (dan saya) yang melajang mungkin cuma bisa scroll sambil mikir, "Apa nggak ada topik lain selain anak-anak?"
Sebagai seseorang yang masih melajang dan belum punya anak, fenomena sharenting bisa terasa, ehmmmm.... sedikit berlebihan.
Antara Lucu dan Banjir Informasi yang Tidak Perlu
Oke, foto/video anak kecil itu memang lucu. Tapi di sisi lain, ada momen di mana saya merasa posting tentang anak-anak sudah over-share.
Misalnya, ada yang cerita detail soal rutinitas tidur si bayi, jenis makanan favorit, mainan kesukaannya, sampai kejadian lucu di kamar mandi. Saya pikir itu terlalu pribadi buat di-share ke publik.
Sebagai orang luar yang bukan anggota keluarganya, saya mungkin merasa info seperti ini nggak relevan atau terlalu banyak. Ngapain juga saya harus tahu rutinitas tidur anak orang?
Tapi buat si orang tua, mungkin itu cara mereka mendokumentasikan momen-momen berharga.
Nah, di sini dilema mulai muncul. Di satu sisi, saya ingin menghargai kebahagiaan mereka. Di sisi lain, saya merasa seperti "kebanjiran" konten yang bukan buat saya.
Bagaimana dengan Privasi Anak?
Sebagai seseorang yang ngeri dengan isu privasi di era digital, saya langsung kepikiran, "Gimana kalau nanti anaknya sudah dewasa dan nggak suka fotonya tersebar di internet?" Karena jujur aja, nggak semua anak bakal senang video mereka lagi tantrum diunggah ke TikTok.
Belum lagi soal jejak digital yang susah untuk dihapus, bahkan ketika si anak sudah dewasa. Bukan cuma soal malu atau nggaknya, tapi juga potensi risiko, seperti pencurian identitas atau cyberbullying di masa depan.
Rasanya ingin bilang ke teman yang suka sharenting, "Hei, kamu yakin anakmu bakal oke dengan ini semua nanti?" Tapi tentu saja, saya nggak mau terkesan nyinyir atau ngurusin anak orang.