Fenomena sharenting juga bikin saya bertanya-tanya soal masa depan. Apakah nanti ketika punya anak, saya juga harus ikut-ikutan?
Ada tekanan sosial nggak sih? Karena dari sudut pandang saya, ada kesan kalau sharenting itu semacam "lomba" siapa yang punya cerita atau momen anak paling menarik. Lucu, tapi juga agak absurd.
Sebagai lajang, saya lebih melihat media sosial sebagai tempat hiburan atau sumber informasi. Jadi ketika isinya berubah jadi "lomba parenting", saya merasa nggak nyambung.
Belajar Empati tanpa Kehilangan Perspektif
Meski kadang merasa sharenting itu berlebihan, penting buat kita semua untuk nggak langsung menghakimi. Orang tua punya cara sendiri untuk mengekspresikan cinta dan kebanggaan mereka. Mungkin itu bentuk kebahagiaan yang saya belum sepenuhnya pahami karena belum berada di posisi mereka.
Tapi di sisi lain, sebagai teman atau follower mereka, kita juga punya hak untuk merasa "Ahh ini sudah berlebihan".
Cara paling bijak adalah membatasi konsumsi media sosial. Kalau memang nggak relevan, mute saja tanpa perlu unfollow. Selain itu, coba pahami bahwa sharenting juga bisa jadi refleksi dari perubahan zaman, di mana parenting dan teknologi saling bersinggungan.
Akhir Kata
Melihat sharenting dari sudut pandang orang yang masih lajang memang membuka banyak perspektif. Di satu sisi, ini bisa terlihat seperti banjir informasi yang tidak relevan. Di sisi lain, ini juga bikin saya belajar tentang bentuk cinta dan tantangan parenting di era digital.
Sharenting mungkin bukan hal yang sepenuhnya saya setujui, tapi itu bukan berarti saya membencinya. Justru ini kesempatan untuk belajar dan memahami, sambil tetap menjaga batasan yang sehat di dunia maya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI