Beberapa waktu lalu saya bersama kawan jalan-jalan ke sebuah supermarket asal Swedia di kawasan Alam Sutera, Tangerang, yang terkenal dengan produk perabotan rumah dan furniturnya. Tahu kan namanya?
Di food court-nya, saya untuk pertama kalinya mencoba sajian bola daging khas supermarket tersebut lengkap dengan mashed potato dan selai lingonberry.Â
Namun sebagai orang Indonesia yang sudah akrab dengan kelezatan bakso Wonogiri yang legendaris, perbandingan ini membuat lidah saya sedikit "bingung".Â
Rasa Skandinavia di Lidah NusantaraÂ
Pertama kali mencium aroma bola daging, saya cukup penasaran. Baunya menggoda, dengan aroma gurih khas daging sapi yang sepertinya akan menggugah selera.
Saat disajikan, tampilannya juga cantik. Bola daging yang tersusun rapi di atas mashed potato lembut, dengan saus krim berwarna coklat yang kental dan satu sendok selai lingonberry yang merah mengilap.Â
Gigitan pertama? Hmm... aneh tapi menarik. Tekstur bola dagingnya lembut dan kenyal, hampir mirip bakso, tapi rasanya lebih "bersih" tanpa rempah-rempah kuat.
Mashed potato-nya cukup halus, cocok dipadukan dengan saus krim gurih.
Tapi yang paling aneh dan membuat saya terdiam sejenak adalah selai lingonberry. Rasanya asam-manis, seperti selai stroberi, tetapi dengan rasa yang lebih tajam.Â
Dasar... Lidah Indonesia
Sebagai orang Indonesia, makan bola daging tanpa kuah bening atau sambal rasanya seperti kehilangan sesuatu. Dalam hati, saya terus bertanya, "Dimana pedasnya?" atau setidaknya kecap manis untuk menambah rasa.Â
Apalagi makan bola daging pakai selai. Dimana di sini umumnya selai dimakan dengan roti. Selai lingonberry itu memang menarik, tetapi rasanya terlalu asing bagi lidah saya. Bayangkan memadukan daging gurih dengan selai manis. Sebuah kebiasaan yang cukup jauh dari tradisi kuliner kita yang sering memadukan rasa gurih dan pedas.Â