Nicholas tak bisa berpaling, seakan terperangkap dalam momen itu. Momen yang telah terkubur dalam masa lalu namun sekarang terulang di hadapannya.
Lalu kilasan itu lenyap begitu saja. Nicholas kembali berdiri di kamar yang sama, tapi kali ini dengan rasa sepi yang menyelimuti hatinya. Mimpi buruk itu, jeritan tanpa suara, adalah jawaban yang selama ini ia cari.
"Untuk yang terakhir kalinya". Kata-kata itu terngiang dalam benaknya. Seakan-akan ada sesuatu yang belum terselesaikan, sesuatu yang perlu diakhiri saat itu juga.
Nicholas duduk di atas tempat tidur, mencoba memahami apa yang baru saja ia lihat. Di balik semua itu, satu hal semakin jelas. Victoria dan Edward terjebak dalam siklus menyakitkan yang tidak pernah sepenuhnya terselesaikan.
"Untuk yang terakhir kalinya." Bisikan itu terdengar kembali di kepalanya. Nicholas merasa harus menuntaskan semuanya, bukan hanya untuk Victoria, tapi juga untuk dirinya sendiri.
Matanya menyapu ruangan, dan kemudian tatapannya jatuh pada sebuah laci yang tampak biasa di sudut kamar. Mungkin ada sesuatu di sana, sesuatu yang bisa memberikan jawaban lebih.
Dengan hati-hati, ia membuka laci itu dan menemukan sebuah buku harian. Buku itu tampak tua, dengan kertas yang menguning dan sampul yang sudah rusak.
Di dalamnya, tulisan tangan Victoria mencatat setiap momen, setiap rasa sakit, dan hari-hari terakhir menjelang kematiannya.
Nicholas mulai membacanya, merasakan kehadiran Victoria semakin kuat di setiap kata. Di antara halaman-halaman itu, ia menemukan kebenaran yang tak pernah diungkapkan.
Bukan hanya kisah cinta yang kandas, tetapi kisah tentang keputusasaan. Tentang seorang wanita yang mencari jalan keluar dari hubungan yang merusak, tentang seorang pria yang tak mampu menerima kenyataan itu.
"Untuk yang terakhir kalinya", kata-kata yang Victoria tulis di akhir catatannya. Untuk yang terakhir kalinya, sebelum semuanya berakhir. Dia ingin pergi, ingin bebas, tapi takdir memilih sebaliknya.