Demi mencegah subsidi yang salah sasaran, pemerintah berencana akan membatasi kendaraan yang diizinkan untuk mengonsumsi Pertalite berdasarkan kapasitas mesinnya. Nah rencananya nanti, kendaraan bermesin di atas 1.400 cc tak boleh diisi Pertalite.
Sekilas kebijakan ini bermaksud baik, agar subsidi tepat sasaran. Oke masuk akal, sampai saya melihat sebuah contoh kasus yang mungkin akan terjadi jika aturan berdasarkan kapasitas mesin ini diterapkan.
Mobil Niaga vs Mobil Mewah: Siapa yang Lebih Butuh Pertalite?
Bayangkan, mobil di atas 1.400 cc tidak boleh lagi mengonsumsi Pertalite. Padahal mobil seperti Suzuki Carry pick-up dengan harga kisaran Rp170 juta, yang umum dipakai buat angkut barang sampai antar pesanan, jadi terkena aturan ini karena kapasitas mesinnya 1462 cc.
Tapi di sisi lain, Mercedes-Benz GLA200 yang harganya kisaran Rp975 juta, lebih sering parkir di garasi rumah mewah atau buat flexing, tapi punya kapasitas mesin 1332 cc, malah boleh! Gimana, bikin heran kan?
Kebijakan ini bikin kita berpikir, bagaimana sih logikanya? Padahal kalau mau adil, mobil niaga yang sering bolak-balik dipakai untuk cari uang butuh bahan bakar terjangkau atau disubsidi.
Sementara itu, Mercedes-Benz GLA200 yang masuk kategori kendaraan mewah malah masih bebas menikmati subsidi. Ironis, kan? Mereka yang sebenarnya mampu beli BBM non-subsidi, malah dapat 'hadiah'. Apa nggak salah subsidi?
Mungkin kamu berpikir, "Gila kali ya, masa Mercy diisi Pertalite?". Pada kenyataannya di lapangan masih ada yang seperti itu. Pemiliknya mungkin tidak pernah isi Pertalite, tapi begitu mobilnya dibawa oleh sopirnya yang ingin mencari duit lebih, biasanya akan diisi dengan Pertalite tapi bilangnya Pertamax.
Efek ke Masyarakat
Kebijakan ini tentu bakal berdampak besar bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang mengandalkan mobil niaga. Dengan larangan mengonsumsi Pertalite, biaya operasional tentu bakal melonjak. Mau nggak mau, mereka harus pindah ke BBM jenis lain yang lebih mahal, seperti Pertamax atau isi bensin di SPBU non-Pertamina. Usaha kecil yang marginnya tipis harus nombok lagi gara-gara harga BBM. Â
Ada Solusi Nggak?
Kalau kebijakan ini jadi dijalankan, pemerintah harus memikirkannya lebih jauh. Masa mobil yang jelas-jelas dipakai untuk usaha harus kena aturan yang sama dengan mobil mewah? Solusinya mungkin jangan cuma lihat dari kapasitas mesin, tapi juga dari harga jual dan pajaknya. Atau bisa dengan pengecualian khusus buat kendaraan niaga.
Masa iya, mobil yang harganya lima kali lebih mahal boleh mengonsumsi Pertalite, tapi yang jauh lebih murah malah tidak boleh. Masa iya, mobil yang pajaknya tidak sampai Rp20 juta tidak boleh mengonsumsi Pertalite, tapi mobil yang pajaknya di atas Rp90 juta malah boleh.