Namun ada juga sisi gelap dari ketergantungan pada smartphone. Ketika semua bisa dilakukan dengan mudah lewat aplikasi, kita cenderung lupa bagaimana caranya bersabar, atau menikmati momen tanpa tergesa-gesa. Kita juga jadi kehilangan kemampuan untuk benar-benar hadir di kehidupan nyata, karena selalu tergoda untuk memeriksa layar.
Mungkin ini alasan kenapa hanya orang kaya raya dan orang yang tinggal di pedalaman yang bisa hidup tanpa smartphone. Mereka punya kebebasan yang kita, manusia biasa, hanya bisa impikan. Kebebasan dari tuntutan dunia digital yang terus mendesak kita untuk selalu online, selalu update, dan selalu terhubung.
Hidup di Antara Dua Dunia
Smartphone harus jadi alat untuk mempermudah hidup, bukan dikendalikan olehnya. Kuncinya adalah menemukan keseimbangan. Menggunakan smartphone dengan bijak, bukan sebagai pelarian tapi sebagai alat yang membantu kita menjalani hidup dengan lebih mudah.
Kalau memang terasa terganggu dengan toxic-nya dunia media sosial atau beragam berita negatif di Internet, ya jangan install aplikasi media sosial atau browser. Matikan semua setting notifikasi. Smartphone-nya masih bisa digunakan untuk keperluan lain yang bermanfaat. Misalnya untuk fotografi, mendengar musik, hingga video call dengan orang yang dikangeni.
Jadi apakah kamu termasuk yang bisa hidup tanpa smartphone? Kalau kamu punya rekening bank isinya lebih dari 12 digit atau tinggal di pedalaman tanpa listrik, mungkin jawabannya ya.
Tapi untuk kita yang terjebak di kota dengan segudang aktivitas, smartphone adalah teman setia yang sulit dilepaskan. Kalau sudah begini, yang penting adalah menjaga agar kita yang mengendalikan smartphone, bukan sebaliknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H