Pernah dengar olahraga slap fighting belum? Slap fighting jadi perbincangan hangat karena konsepnya yang unik sekaligus kontroversial.
Beda jauh dengan tinju atau MMA, slap fighting cuma mengandalkan satu serangan: TAMPARAN! Ya, mereka yang ikut kompetisi slap fighting tidak perlu menguasai teknik grappling, tendangan, gulat, atau bela diri apapun. Mereka hanya perlu kulit wajah yang tebal dan "rahang baja".
Cara pertarungannya begini, dua petarung berdiri berhadapan, dipisahkan oleh pembatas. Mereka akan bergantian menampar lawan sekuat tenaga dengan posisi telapak tangan terbuka dan lurus, lalu....PLAK!
Yang pertama KO atau didiskualifikasi karena tidak bisa menerima serangan, dia yang kalah! Terlihat simpel, tapi jangan salah, risiko cedera di olahraga ini nggak main-main.
Dari Rusia Sampai ke Indonesia
Slap fighting pertama kali dikenal di wilayah Eropa Timur dan Rusia. Awalnya ini hanya sekadar ajang lokal yang sifatnya informal.
Namun setelah banyak video tentang slap fighting beredar di Internet, kepopulerannya semakin menanjak. Olahraga ini telah menarik perhatian internasional, bahkan sampai dipromosikan oleh UFC lewat turnamen Power Slap.
Di Indonesia sendiri, ajang serupa slap fighting bertajuk "Tabox" baru-baru ini digelar di bawah naungan One Pride MMA. Wah, Indonesia ikutan tren juga nih!
Perasaan Campur Aduk
Konsepnya yang brutal dan penuh adrenalin ini langsung menuai kontroversi. Banyak yang ngeri melihat risiko cedera para petarung, mulai dari gegar otak, rahang bergeser, sampai cedera leher serius.
Meskipun saya penggemar MMA, saya melihat slap fighting dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, saya salut sama keberanian para petarung yang berani ditabok sekeras-kerasnya. Ini bukan sekadar hentakan tangan biasa, tapi serangan yang bisa berakibat fatal.
Di sisi lain, bela diri sejatinya bukan cuma soal adu kekuatan, tapi juga strategi, teknik, dan kontrol diri. Slap fighting seolah-olah mengurangi esensi bela diri yang sesungguhnya.