Wah, ada berita baru dari dunia sepak bola! Wasit di Liga Inggris, Jarred Gillett, baru saja menjadi "kameramen" dadakan. Mengapa? Karena dia menjadi wasit pertama yang mengenakan kamera kepala alias RefCam saat memimpin pertandingan antara Crystal Palace vs Manchester United. Wah, sepertinya menarik! Tetapi pertanyaannya, apakah RefCam ini benar-benar ide yang cemerlang atau justru akan membuat kekacauan?
Plus minus Refcam
Para penggemar sepak bola sejati pasti sangat senang jika teknologi dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki dunia perwasitan. Bayangkan saja, jika wasit menggunakan kamera, momen-momen kontroversial dapat dilihat dari sudut pandang mereka. Kita menjadi lebih memahami mengapa wasit memberikan keputusan ini atau itu. Tentu saja kasihan jika wasit dihujat padahal sudah berusaha seadil-adilnya.
Namun di sisi lain saya juga agak skeptis. Karena selama ini keputusan wasit bersifat final atau tidak dapat diganggu gugat. Nah, jika menggunakan RefCam, apakah ini berarti keputusan wasit dapat dibatalkan berdasarkan rekaman video? Jangan-jangan justru menjadi ajang perdebatan ketika wasit menggunakan slow motion dan sebagainya. Wah, bisa kacau balau pertandingan!
Refcam di Liga Indonesia
Lalu bagaimana nasib wasit kita di Indonesia? Apakah mereka juga akan mengikuti tren menggunakan RefCam? Hmm... Jika saya pribadi, belum bisa membayangkan wasit Liga 1 menggunakan kamera kepala.
Selain faktor anggaran, yang saya khawatirkan adalah mental para wasitnya. Bayangkan saja tekanan yang mereka alami selama ini ditambah lagi dengan "beban" kamera di kepala. Jangan-jangan justru membuat mereka grogi dan tidak dapat fokus memimpin pertandingan.
Mungkin, alih-alih RefCam, ada baiknya kita lihat dulu performa VAR (Video Assistant Referee) yang mulai digunakan dalam pertandingan Championship Series Liga 1 Indonesia pada Mei 2024. VAR sudah terbukti ampuh untuk mengurangi kesalahan wasit di momen-momen krusial.Â
Memang sih, VAR juga tidak luput dari kritik. Tapi paling tidak, VAR sudah jadi langkah maju buat membantu wasit memberi keputusan yang lebih adil. Â Nah, kalau VAR saja masih bisa disempurnakan, kenapa tidak fokus saja dulu ke pengembangan teknologi yang sudah ada?
Perbaiki mentalitas dulu
Sejujurnya, apakah teknologi benar-benar dapat mengubah kebiasaan buruk oknum suporter yang suka menghujat wasit seenaknya? Tentu mentalitas suporter juga harus diubah agar dapat lebih menghormati keputusan wasit, meskipun tidak selalu sesuai keinginan.
Mungkin, daripada terburu-buru menggunakan RefCam, lebih baik fokus terlebih dahulu pada cara membangun mental dan kualitas perwasitan di Indonesia. Perbanyak kursus wasit, berikan gaji yang layak, lalu yang paling penting edukasi para suporter agar dapat lebih dewasa dalam menerima keputusan di lapangan.
Nah, jika hal tersebut sudah berjalan, baru kita pikirkan soal RefCam. RefCam lebih cocok diterapkan di liga-liga top Eropa yang sudah punya infrastruktur dan mentalitas suporter yang lebih matang. Sementara buat Indonesia, mending fokus saja dulu ke hal-hal mendasar seperti yang sudah disebut tadi.