Lahir dan besar di Jakarta, kota ini tak pelak menjadi denyut nadi kehidupan saya. Tapi jujur saja, kondisi Jakarta yang semakin hari semakin padat membuat ubun-ubun saya berasap. Macet sudah jadi langganan, mencari nafkah yang semakin sulit, belum lagi soal rebutan ruang hidup yang rasanya makin sengit. Jakarta, kota yang dulu terasa dinamis, kini lebih mirip pressure cooker yang siap meledak.
Maka wajar kalau rencana pemerintah membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan disambut banyak pihak dengan antusias, termasuk saya. Wacana IKN sebagai magnet baru bagi kaum urban, khususnya para perantau muda, jadi harapan besar. Kalau sebagian "anak rantau" ini tersedot ke IKN, beban Jakarta bisa berkurang dong?
Mari kita kupas dulu kenapa IKNÂ berpotensi jadi magnet. Pertama, konsepnya. IKN digadang-gadang sebagai smart city, kota modern yang mengusung teknologi dan ramah lingkungan. Siapa yang nggak ngiler tinggal di lingkungan yang tertata, efisien, dan minim polusi udara? Bandingkan dengan Jakarta yang suasananya kerap bikin geleng-geleng kepala.
Kedua, kesempatan. IKN sebagai pusat pemerintahan dan ekonomi baru di Indonesia, diyakini bakal membuka keran peluang kerja lebar-lebar. Bagi para fresh graduate atau pekerja muda yang haus tantangan dan jenjang karir menjanjikan, IKN bisa jadi lahan subur. Ini nggak cuma soal lapangan kerja di sektor pemerintahan, tapi juga sektor pendukung seperti properti, ritel, dan jasa. Artinya, potensi cuan di IKN juga menggiurkan.
Ketiga, gaya hidup. IKN rencananya dibangun dengan mengedepankan ruang terbuka hijau dan fasilitas publik yang mumpuni. Bayangkan, bisa hidup di kota yang asri, punya ruang rekreasi yang ciamik, dan nggak perlu berebut ruang gerak di transportasi umum yang sesak kayak di Jakarta. Belum lagi soal biaya hidup yang diprediksi bakal lebih moderat dibanding Jakarta. Wah, jadi kepengen pindah deh!
Namun, harapan tinggal harapan. Membangun IKN menjadi magnet urbanisasi yang efektif tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangannya segudang. Mulai dari pembangunan infrastruktur yang belum rampung, ketersediaan lapangan kerja yang butuh waktu untuk mapan, hingga kultur dan gaya hidup yang mungkin belum familiar bagi sebagian orang. Belum lagi soal kangen kampung halaman yang kerap dialami para perantau.
Meski begitu, saya optimistis. Dengan perencanaan matang, eksekusi yang ciamik, dan promosi yang gencar, IKN bisa jadi daya tarik tersendiri. Apalagi kalau Jakarta bisa berbenah diri, misalnya dengan mengurai kemacetan dan meningkatkan kualitas udara. Dengan begitu, orang nggak cuma "lari" ke IKN karena Jakarta nggak nyaman, tapi juga "tertarik" ke IKN karena potensinya yang menggiurkan.
Intinya, pemindahan ibu kota ini bukan sekadar memindahkan gedung pemerintahan. Ini soal pemerataan pembangunan, menciptakan pusat ekonomi baru. Mungkin juga mengurangi beban Jakarta. Mari kita kawal terus proses pembangunan IKN. Semoga, mimpi IKN sebagai magnet urbanisasi yang efektif bisa terwujud. Dan semoga, Jakarta bisa terus bertransformasi menjadi kota yang lebih nyaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H