Di sebuah kota kecil yang sunyi, ada seorang kakek tua bernama Pak Budi. Dia tinggal sendirian di sebuah rumah mungil yang terletak tepat di samping rel kereta. Kereta yang lewat di depan rumahnya itu adalah satu-satunya hal menarik yang terjadi di kota itu. Setiap hari, Pak Budi duduk di terasnya, melambaikan tangan ke arah masinis kereta yang lewat.
Suatu hari, kereta berhenti di depan rumah Pak Budi. Masinis, yang biasanya hanya melambaikan tangan kembali pada Pak Budi, turun dari kereta dan berjalan ke arah teras Pak Budi.
"Maaf mengganggu ya, Pak," kata masinis itu. "Nama saya Anto. Kereta saya mogok, dan saya sedang menunggu teknisi datang untuk memperbaikinya. Bolehkah saya menunggu di teras Anda sampai mereka tiba?"
Pak Budi tersenyum ramah. "Tentu saja, Pak Anto. Silakan duduk."
Pak Budi dan Pak Anto mengobrol selama hampir setengah jam. Pak Anto bercerita tentang perjalanannya sebagai masinis, tempat-tempat yang pernah dikunjunginya, dan orang-orang yang pernah ditemui. Pak Budi mendengarkan dengan antusias, sesekali memotong dengan cerita tentang kehidupan di kota kecil mereka.
Seiring waktu berlalu, persahabatan yang unik terjalin antara Pak Budi dan Pak Anto. Setiap kali ada kesempatan, dia akan selalu mampir untuk mengobrol dengan Pak Budi. Mereka akan berbicara tentang kehidupan mereka, berbagi cerita, dan tertawa bersama.
Suatu hari, Pak Anto datang ke rumah Pak Budi dengan ekspresi sedih di wajahnya. "Pak Budi," katanya pelan, "Saya akan pensiun minggu depan."
Pak Budi terkejut. "Pensiun? Tapi, Pak Anto masih terlihat sehat dan kuat."
Pak Anto tersenyum lemah. "Saya sudah menjadi masinis selama 30 tahun. Sudah waktunya bagi saya untuk menyerahkan pekerjaan saya kepada orang lain."