Selama ini banyak kisah tentang donatur yang ditipu oleh si penerima donasi. Ada yang mengaku sakit parah, yatim piatu, atau mengalami musibah demi menarik simpati dan uang donatur. Aksi-aksi ini banyak bertebaran di media sosial maupun platform penggalangan dana.
Tak jarang, donatur terlena oleh rasa kasihan dan empati, sehingga mudah terjebak dalam perangkap penipuan ini.Â
Apalagi orang Indonesia juga dikenal sebagai masyarakat yang sangat dermawan. Yang sudah diakui oleh badan amal asal Inggris, Charities Aid Foundation (CAF) lewat laporan World Giving Index. Dalam laporan itu Indonesia menjadi bangsa paling dermawan selama enam tahun berturut-turut.
Di sisi lain, terdapat pula kasus di mana justru donaturnya yang melakukan penipuan. Mereka menipu bukan untuk memperoleh uang, tapi demi mendapatkan banyak like dan pujian di media sosial.Â
Foto-foto dan video yang diunggah di media sosial seolah menunjukkan kedermawanan mereka, namun kenyataannya donasi tersebut tidak pernah dilakukan.
Sebagai pengguna media sosial, saya jenuh melihat fenomena "donasi setting-an" yang semakin marak. Mirisnya, hal ini tidak hanya menipu penonton, tetapi juga merendahkan makna donasi itu sendiri.
Konten kedermawanan akan menarik perhatian
Mari kita bedah kedok dari drama donasi setting-an ini. Biasanya, para pelaku akan mengunggah foto atau video mereka sedang memberikan sejumlah uang ke penerima donasi.Â
Nominalnya bisa sangat besar, tak jarang disertai caption bombastis tentang pentingnya berbagi. Sekilas, konten ini terlihat positif dan menginspirasi.
Namun, benarkah semua yang terlihat di media sosial itu nyata? Tentu saja tidak. Seringkali, donasi tersebut hanyalah setting-an belaka. Uang yang diberikan mungkin hanya dipinjamkan sementara, atau bahkan sama sekali bukan untuk disumbangkan.
Mereka paham betul bahwa konten kedermawanan akan menarik perhatian netizen. Apalagi jika dikemas dengan gaya sensasional dan emosional.Â