Selama masa kampanye pemilu, setiap telinga dan mata warga Indonesia pasti akan melihat dan mendengar semua janji manis yang diucapkan oleh para politisi. Baiklah, izinkan saya menyampaikan kalimat ini kepada Anda,Â
"Jika janji itu terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, maka janji itu mungkin terlalu bagus untuk menjadi kenyataan."
Saya tahu, saya tahu, kedengarannya agak sinis, tapi dengarkan saya. Kita semua pernah mengalaminya, bukan? Terjebak dalam pusaran janji yang memukau dan jaminan yang menghangatkan hati, hanya untuk mendapati diri kita merasa kecewa ketika kenyataan menghantam.
Ini seperti perasaan saat Anda melihat burger yang sangat sempurna dalam sebuah iklan. Tapi ketika Anda membuka bungkusnya, sama sekali tidak terlihat seperti mahakarya yang lezat dan jauh dari fotonya yang ada di iklan. Mengecewakan bukan?
Hal yang sama berlaku untuk janji-janji politik yang lebih besar dari kenyataan. Sangat mudah untuk terbuai oleh visi misi para politisi, di mana segala sesuatunya manis, semanis gula aren. Namun, mari kita akui, dunia nyata masih jauh dari sempurna, dan mewujudkan janji-janji indah itu menjadi kenyataan bukanlah hal yang mudah.
Tapi, jangan salah paham. Tidak semuanya janji-janji kampanye itu kosong. Saya tidak mengatakan bahwa kita harus benar-benar skeptis dan menganggap semua janji itu sebagai dongeng belaka. Bagaimanapun juga, kemajuan dan perubahan dapat terjadi, dan sering kali dimulai dengan visi yang berani dan komitmen yang teguh.
Yang saya maksudkan adalah pentingnya sikap skeptis yang sehat. Tidak masalah untuk memiliki harapan dan optimisme, tetapi sama pentingnya untuk tetap menjaga akal sehat kita. Daripada membeli secara membabi buta setiap janji yang memikat, mari kita mundur selangkah dan memikirkan segala sesuatunya dengan matang.
Ketika kita mendekati manifesto yang sarat akan janji manis itu dengan pandangan kritis, kita tidak hanya melindungi diri kita sendiri dari potensi kekecewaan. Kita juga mendorong para pemimpin kita untuk menjadi lebih diandalkan dan transparan.
Kita bisa dengan lantang mengatakan kepada mereka, "Hei, kami (rakyat) di sini bukan hanya untuk disuapi pidato dan janji yang manis serta kampanye yang megah. Kami ingin substansi, kami ingin kelayakan, kami ingin kejujuran."
Jadi, lain kali ketika seorang kandidat atau figur politik mulai mengumbar cerita yang terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, ingatlah mantra kecil ini: "Jika janji itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan, maka itu mungkin terlalu indah untuk menjadi kenyataan."